Wednesday, July 27, 2011


 ANARKIS, RADIKALIS  dan ANAK MUDA
Oleh: Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

                Bom  bunuh diri  kembali mengguncang ibu pertiwi. Masjid Adz-Dzikro, kompleks Malporesta Cirebon, pada tanggal  15 April 20 11 menjadi tempat  untuk “berjihad”  Muhammad  Syarif Astanagarif (32 tahun). Hanya pelakunya,   bomber M Syarif,  yang langsung mampus dihajar bom yang dililitkan ditubuhnya.  Tampaknya  M  Syarif berkeinginan   mati “sahid” dengan  sejumlah polisi khususnya Kepala Polresta Cirebon.    
Kendatipun sasaran polisi tidak ada yang meninggal, tetapi serangan M Syarif  dan kelompoknya dapat dibilang sukses karena mampu menyerang polisi  simbol  penghalang gerakan-gerakan kelompok teroris dan dapat kembali menebar ketakutan di masyarakat.  M Syarif  sendiri  tentunya merasa sukses karena dapat  mati  “sahid” melalui “jihad” sesuai keyakinan dan perjuangannya. Gerakan teroris  yang semakin menggila di Indonesia menjadikan masyarakat merasa tidak aman di tempat-tempat umum sekalipun di tempat ibadah. Bahkan bom sudah masuk rumah melalui kiriman paket bom buku yang salah satunya meledak  di tangan polisi yang berusaha menjinakkannya.
Bom Cirebon  mengingatkan peristiwa bom-bom bunuh diri  dan pelaku pengeboman sebelumnya. Para bomber atau pelaku pengeboman  atau yang masuk kelompok penganut radikalisme dengan aksi-aksi teror dan kekerasan  pada umumnya dilakukan oleh generasi muda di bawah 40 tahun. Bahkan masih remaja  sudah sangat berani menjadi bomber bunuh diri  seperti yang dilakukan oleh   Dani Dwi Permana yang baru berumur 18 tahun ketika menjadi bomber di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton  tanggal 17 Juni 2009.   Teroris  pelaku bom Bali  I tahun 2002 seperti Imam Samudra waktu itu berumur 30 tahun,  Amrozi berumur 38 tahun, gembong teroris Noordin M Top waktu itu umur 34 tahun. Pelaku-pelaku lain seperti Misno berumur 30 tahun, bomber Bali II  tahun 2005 yakni Ayib Hidayat berumur 25 tahun. Pendek kata, para teroris yang umumnya penganut aliran atau berideologi radikal atau ekstrim  pada umumnya anak-anak muda.  
Selain anak muda menjadi teroris yang berideologi  radikal, pelaku-pelaku tindak anarkis lainnya, perkelaian umumnya terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa,  dan bentrok antar kelompok yang sering muncul dalam berita media massa televisi tampak sebagian besar pelakunya anak-anak muda. Bentrok antar supporter sepak bola umumnya anak-anak muda.  Memang anak-anak muda yang menjadi teroris atau bomber seperti M Syarif  dan Dani jumlahnya relatif sedikit dibandingkan populasi anak-anak muda  yang ada. Akan tetapi, jumlah yang sedikit  tersebut sangat berbahaya karena berhaluan keras dan militan. Mereka akan bertindak dengan  menggunakan segala cara dan berani melawan norma-norma yang ada demi untuk mencapai tujuannya.   Pemerintah dan aparat keamanan dibikin repot oleh ulah kelompok radikal ini. Masyarakat menjadi tidak tenang, kedamaian, persatuan dan kesatuan   terancam.
Melihat fakta bahwa umumnya para radikali-teroris dan pelaku anarkis lainnya dilakukan oleh kaum muda,  serentetan pertanyaan dapat dilontarkan. Mengapa di era demokrasi gerakan radikalisme tumbuh subur dan tindak anarkis kaum muda terjadi di mana-mana?.  Bagaimana peran pemerintah, pemimpin agama, pendidik dan  orang tua dalam memberikan pendidikan dan membekali generasi muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia yang berdasar Pancasila?.  Mampukah Pancasila  menjawab kegelisahan dan kekosongan keyakinan anak-anak muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara yang pluralistik ini?.
Kegagalan Pemerintah
                Memasuki era demokrasi mulai  tahun 1998, bangsa ini seperti  bebas dari belenggu penjajah.  Masyarakat menghirupkan kebebasan yang tak terhingga. Rakyat bebas melakukan ekspresi diri dan kelompok melalui berbagai cara dan dalam berbagai bentuk. Euforia kebebasan benar-benar dinikmati dan dijalankan oleh semua rakyat. Akhirnya, di tataran masyarakat,  kebebasan menjadi sulit terkendali.  Pancasila dilupakan, ideologi lain bebas masuk dan dipelajari  oleh anak-anak muda tanpa kontrol penguasa. Masyarakat mudah sekali melakukan unjuk rasa yang sering diikuti tindak anarkis. Konflik berbau SARA terjadi di berbagai daerah seperti di Maluku, Poso, Pontianak, Papua, Aceh. Negara sepertinya tidak dianggap lagi. Rasa kebangsaan sepertinya sudah terhapus dari dada rakyat.
 Di tataran pemerintahan, semua produk dan kebijakan orde baru yang dinilai tidak  mempunyai semangat reformasi dan demokrasi dianggap tidak baik, kuno “jadul”, dan semua itu harus ditinggalkan dan diganti tatanan yang baru.   Pejabat alergi bicara Pancasila.  BP7 yang bertanggung jawab  atas pelaksanaan pendidikan politik dengan label Penataran P-4 dibubarkan. Masyarakat, anak-anak sekolah dan mahasiswa tidak mendapat pendidikan politik melalui Penataran P-4 di awal-awal masuk sekolah/kuliah. “Cuci otak” dengan ideologi Pancasila tak ada lagi.  Mereka dibiarkan hidup tanpa pegangan dan pedoman yang jelas dalam berbangsa dan bernegara. Di sisi lain,  ada aliran arus deras ideologi lain masuk memenuhi ruang-ruang kebebasan dan dapat mengisi kekosongan dan kehausan anak-anak muda tentang pegangan hidup baru  di luar Pancasila yang tersingkirkan.  Islam radikal, sosialisme kiri  dan  liberalisme menjadi santapan baru anak-anak muda yang semakin kritis. Sedangkan di sisi lain pemerintah tidak menyiapkan perangkat dan sistem atau   model pendidikan politik bagi masyarakat dan generasi muda untuk pengganti P-4.   Akibatnya, ideologi radikal tumbuh subur. Gagasan  dan kehendak lama  kelompok Islam radikal ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII)  tumbuh kembali karena pemerintah melakukan pembiaran dan permisif terhadap menjamurnya gerakan radikal yang berbasis ideologi yang berhaluan keras.     
Gerakan NII masih eksis dan secara diam-diam telah menjalar ke mana-mana dengan  wujud organisasi yang berbeda beda. Ada Jamah Islamiyah, Komando Jihad, dan lain-lain. Sasaran perekrutan anggota kelompok radikal ini adalah  kaum muda yang mental ideologinya kosong atau lemah tentang Pancasila dan NKRI.  Metode perekrutan melalui rayuan dan diskusi yang secara tidak sadar  ditanamkan rasa  kebencian terhadap NKRI dan Pancasila serta memutarbalikkan fakta dan ajaran agama. Kasus terbaru, hilangnya 9 mahasiswa di Malang  akhirnya terkuak  karena diculik oleh kelompok orang  yang diduga dari kelompok dan  jaringan NII. Para mahasiswa  tersebut dicuci otaknya dari kotoran ajaran agama dan kenegaraan yang menurut penculik tidak benar kemudian otak para mahasiswa tersebut diisi dengan ajaran-ajaran yang membenarkan NII dan menanamkan kebencian dan permuisuhan terhadap keluarga , orang tua,  NKRI dan Pancasila.
Anak muda remaja merupakan sosok yang belum mempunyai jati diri dan identitas diri yang jelas. Mereka kelompok yang sedang berburu identitas  melalui berbagai pembelajaran dan peniruan. Semangat belajar dan rasa ingin tahu sangat tinggi. Segala sesuatu yang baru ingin dicobanya. Emosinya masih sangat labil. Gambang  sekali mengikuti arus yang berkembang di kelompoknya.  Kondisi seperti ini mudah sekali dimasuki ajaran-ajaran yang menyesatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawa. Itulah sebabnya, para teroris dan kaum radikal mencari dan berburu anak-anak muda yang penghayatan agamanya masih lemah dan mental ideologi berbangsa dan bernegara belum mantap.
Kondisi anak muda yang mudah jatuh dalam gerakan radikalisme dan akrkisme dikarenakan pemerintah melakukan pembiaran akan pendidikan politik. Pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan yang dapat menyelamatkan anak-anak muda dari pengaruh radikalisme yang melanda Indonesia pada awal-awal kebangkitan demokrasi. Kekosongan ideologi akibat sikap menghindari Pancasila dan meniadakan P-4 sama saja memberikan kesempatan luas masuknya dan tumbuhnya ideologi lain. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri sehingga lupa menyelematkan anak-anak bangsa dari pengaruh dan ajaran ideologi radikal. 
 Karena tiadanya kebijakan dalam pendidikan politik yang jelas, maka para pemimpin umat beragama pun tidak ada mempunyai pedoman yang dijadikan tuntunan dalam berdakwa yang sejuk, damai, dan mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam  kebhinekaan bangsa. Selain itu, penegakan hukum oleh pemerintah juga lemah terhadap pelaku anarkis dan radikalis. Partai politik  pun setali tiga uang, sama saja, sibuk dengan kepentinganya sendiri, hanya ramai berebut dan bagi-bagi kekuasaan.   Parpol belum dapat melaksanakan pendidikan politik untuk rakyat khususnya kaum muda yang mestinya menjadi tugas dan kewajibannya dalam menjalankan salah satu fungsi politiknya. Ormas kepemudaaan dan organisasi kemahasiswaan kurang ada kontrol dan pembinaan dalam melaksanakan aktivitasnya seolah-olah mereka sudah manusia yang matang, padahal mereka anak-anak muda yang sedang dalam proses belajar yang perlu pengawasan dan pengarahan.   Tampaknya demokrasi telah disalahgunakan dan dimanfaatkan oleh kaum radikalis untuk menebarkan ideologinya di kalangan kaum muda.
Jalan Keluar
                Agar kondisi ini tidak semakin berlarut-larut dan gerakan radikalisme dan anarkisme tidak semakin tumbuh subur di kalangan kaum muda, maka pemerintah secepatnya harus mengambil sikap dan kebijakan. Pertama, perlu dipikirkan adanya lembaga semacam BP7 yang secara khusus mengelola pelaksanaan civic education atau pendidikan politik bagi rakyat dengan penekanan kurikulum pada pembentukan watak sebagai orang Indonesia yang mengakui dan menghormati kehidupan yang multikultural atau kebhinekaan.
Kedua, perlu dibentuk lembaga khusus atau memberikan wewenang dan fasilitas  kepada ormas agama untuk mendidik,  membina dan mengawasi kaum muda yang tersesat atau korban dari ajaran ideologi radikal. Hal ini untuk memutus mata rantai ajaran yang mungkin akan muncul kembali bila tidak dilakukan pembinaan dan pengawasa.
Ketiga, pemerintah harus menfasilitasi para pemimpin agama untuk secara teratur dan berkesinambungan melakukan up dating wawasan tentang Pancasila dan negara kebangsaan NKRI serta kebijakan-kebijakan aktual yang berkaitan dengan upaya  terus menerus mewujudkan kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa.  Dengan tambahan bekal wawasan yang selalu baru diharapkan para pemimpin agama / ulama dapat menyampaikan dakwah  kepada umatnya hal-hal yang sejuk.
Keempat, kembali dihidupkan pembekalan (seperti P-4) tentang Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI kepada anak didik pada awal masuk jenjang sekolah dan kuliah.  Kegiatan orientasi sekolah harus ada materi pembekalan ideologi Pancasila dan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Untuk di perguruan tinggi, perlu dipikirkan ulang agar Ideologi  Pancasila  menjadi mata kuliah wajib yang berdiri sendiri dengan  beban sks minimal 3 (tiga), bukan seperti sekarang ini hanya bagian dari mata kuliah kewarganegaraan yang hanya 2 sks.  Mempelajari ideologi Pancasila tidak sekedar hafal sila-sila Pancasila dan tahu maknaya, tetapi lebih dari itu yakni faham dan menghayati kandungan filosisnya yang berakar dari warisan budaya bangsa.     Diharapkan dengan memberikan pendidikan Ideologi Pancasila yang memadai dan mendasar  akan mampu membentengi  anak-anak muda  dari ideologi radikal.
Kelima, orang tua harus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam berkomunikasi dengan anak sehingga kalau ada hal-hal yang dirasa aneh atau di luar kebiasaan dalam bersikap dan berfikir dari diri si anak, maka orang tua dapat cepat mengerti untuk kemudian segera dapat diambil tindakan. Anak-anak muda yang tersesat  dalam bertindak pada umumnya dialami dalam keluarga yang komunikasinya antara anak dan orang tua kurang harmonis.  Kemajuan teknologi informasi juga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas komunikasi dalam  keluarga. Orang tua dan anak mungkin dekat secara fisik, tetapi  masing-masing sibuk dengan HP-nya  menjalain komunikasi dengan jaringan  dan kelompoknya sendiri-sendiri.
Dan keenam, masyarakat hendaknya waspada dan kritis terhadap  kelompok-kelompok pengikut agama yang eksklusif, tertutup dan terkesan menjauhi kehidupan sosial yang normal. Tindakan yang aneh dari lingkungan sekitar atau menyendiri biasanya ada sesuatu yang dirahasiakan. Selain itu, masyarakat juga harus kritis dan waspada terhadap isi ceramah agama yang disampaikan oleh uztads atau pemimpin agama lainnya yang sering atau bahkan terus menerus menanamkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah, negara atau agama lain. Isi ceramah dan pengajian yang bernada provokatif  merupakan awal atau bibit cikal bakal tumbuhnya  sikap dan pemikiran radikalisme dalam masyarakat.
Marilah udara demokrasi patut disyukuri sebagai berkah untuk mengembangkan potensi diri dan kelompok demi untuk kesejahteraan, kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa dalam bingkai Negara Kebangsaan NKRI yang berdasar Pancasila.

                                                                                                                                Palembang, 21 April 2011

PENDAMPINGAN SOSIAL DALAM UPAYA
PENINGKATAN PROGRAM KESERASIAN SOSIAL BERBASIS MASYARAKAT

Oleh:
Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

Pendahuluan
            Kodrat manusia adalah hidup berkelompok dengan sesama manusia dalam suatu lingkungan  alam yang dirasakan nyaman dan menyenangkan bagi komunitasnya. Hidup berkelompok selain untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat individu juga untuk  dapat memenuhi tuntutan akan kebutuhan yang bersifat sosial atau kebersamaan.  Dalam hidup kebersamaan dalam kelompok dibutuhkan suatu perangkat nilai atau sistem nilai yang memungkinkan kehidupan dalam kelompoknya dapat berjalan tertib dan serasi. Sistem nilai terbentuk dari kebiasaan pola-pola interaksi  yang berlangsung lama dan akhirnya melembaga menjadi suatu norma sosial yang diyakini Demi untuk mewujudkan dan menjaga kebersamaan,  menjunjung keserasian sosial  dan ketertiban sosial maka sistem nilai harus dijunjung tinggi dan ditaati oleh setiap individu yang ada dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan. Kepentingan individu  kadang harus ditekan dalam-dalam  atau dikorbankan agar keserasian sosial dapat dijaga.

            Banyak ragam  kelompok masyarakat  dalam kehiduapn sosial baik yang berbasis etnis, agama, ideologi, kepentingan, kesenangan, daerah, bangsa, negara, bahasa, pekerjaan, umur, golongan jenis kelamin, dan sebagainya. Aneka kelompok masyarakat tersebut menyatu dalam kehidupan sosial yang lebih besar atau yang diikat dengan identitas bangsa. Setiap bangsa ingin mewujudkan kehidupan duniawi dalam suasana  yang tentram, damai dan sejahtera atau serasi baik dengan sesama maupun dengan lingkungannya.  

            Bangsa Indonesia adalah satu bangsa di dunia yang terbentuk dari berbagai unsur  kelompok sosial sebagaimana disebutkan di atas sehingga Bangsa Indonesia  popular sebagai bangsa yang majemuk atau plural atau bhineka. Tidak ada yang mengetahui secara pasti berapa sebenarnya jumlah suku bangsa sebagai unsur pembentuk Bangsa Indonesia. Namun berdasarkan data sensus terakhir yang dilakukan BPS tercatat 1.128 suku bangsa dengan mayoritas suku Jawa, Sunda, Melayu dengan banyak varian, Madura, Batak, Bugis, dll. Keyakinan dan agama yang dianut juga beraneka ragam seperti Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha. Aneka bahasa ibu digunakan oleh etnis-etnis yang ada sekaligus disemarakkan dengan aneka budaya yang dimiliki sehingga semakin menambah suasana pluralitas bangsa.

            Sisi positif aneka ragam etnis dengan budayanya dapat menjadi aset budaya bangsa yang dapat  mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan rakyat jika dikemas dengan baik. Sisi negatif pluralitas bangsa dapat menjadi bahaya laten  dan sangat rentan terjadi konflik antar kelompok yang lebih dikenal dengan sebutan konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) akibat  salah paham atau salah komunikasi atau karena kepentingan tertentu yang memicu sentimen SARA.  Konflik berbau SARA  sudah sering terjadi dan hingga kini dan mungkin ke depan pun masih dapat terjadi. Akibat konflik SARA maka terjadi disharmoni sosial. Keserasian sosial tersobek, hidup menjadi tak tenang, suasana menjadi tak nyaman, segalanya serba tidak enak.

            Selain konflik SARA sebagai potensi pemicu disharmoni sosial dalam kehidupan Bangsa Indonesia, faktor utama yang lainnya adalah bencana alam. Letak geografis Indonesia dikenal terletak pada cincin api sehingga tidak aneh jika di Indonesia terdapat 500 gunung berapi. Dari jumlah tersebut sebanyak 129 masuk dalam kategori gunung berapi yang masih aktif. Ingatan kita masih segar bagaimana dampak bencana Gunung Merapi di Jateng /DIY meletus  tahun lalu. Belum gunung-gunung berapi yang lain. Selain itu, gempa tektonis akibat pergerakan lempeng bumi setiap saat dapat terjadi dengan dampak yang dapat luar biasa baik yang diikuti tsunami maupun tidak dengan tsunami.  Kemudian bencana alam yang lain selalu menghantui kehidupan masyarakat kendatipun mungkin bencana alam itu akibat dari perbuatan manusia yang tak bertanggung jawab seperti tanah longsor dan banjir. Bencana alam kehendak Yang Maha  Kuasa dapat juga berupa angin puting beliung, kemarau berkepanjangan sehingga menjadi musibah kekeringan.

            Berbagai bencana alam dapat menjadi faktor penyebab ketidakharmonisan sosial. Bencana lain yang juga menyumbang munculnya ketidakserasian sosial seperti bencana penyakit (pageblug/wabah), kebakaran,  konflik antara kelompok masyarakat dengan pengusaha, bencana politik seperti kerusuhan Mei 1998 dan G30S/PKI 1965; terorisme,  pemberontakan dan bencana perang. Diantara bencana-bencana tersebut yang selalu mengintai dan menjadi momok masyarakat dan Pemerintah Indonesia adalah bencana alam khususnya yang di luar kekuasaan manusia seperti gempa bumi dan gunung meletus karena geografi Indonesia sangat berpotensi dan rentan gempa bumi dan gunung meletus.

            Bencana-bencana  yang berdampak mengoyak keserasian sosial tentu tidak dapat dibiarkan berlalu begitu saja. Masyarakat membutuhkan bantuan, bimbingan,  pengarahan, motivasi, perbaikan baik yang bersifat fisik dan non fisik agar situasi kehidupan sosial kembali menjadi harmonis atau serasi. Negara bertanggung jawab untuk memulihkan kondisi masyarakat dari disharmoni menjadi harmoni atau tidak serasi menjadi  kehidupan sosial yang serasi.

Keserasian Sosial 
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1046) kata keserasian pada katanya atau artinya sama dengan keharmosian, kesepadanan, keselarasan, (KBBI,  :1046). Sesuatu yang harmonis atau serasi tidak harus ada kesamaan di unsur pembentuknya atau penyatunya. Orang itu berpakain serasi, artinya   antara kemeja, dasi dan celananya enak dipandang dari segi perpaduan warna, model, bentuk dan dasarnya dengan yang mengenakan.  Jadi, implisit, arti keserasian di dalamnya mengandung makna perbedaan tetapi dapat menjadikan suasana enak, nyaman dan menyenangkan. 
Jika makna keserasian dikaitkan dengan sosial maka terkandung maksud bahwa meskipun dalam kehidupan masyarakat atau kelompok terdapat sub kelompok atau individu yang berwarna-warni karakternya dengan kepentingan yang beragam,  namun semuanya tetap dapat hidup berdampingan dengan saling menghargai dan menyesuaikan satu sama lain sehingga menjadi indah dan nyaman dirasakan kebersamaannya. Keserasian tidak saja dalam tata lahir fisik saja tetapi meliputi suasana batin dan tata laku. Dengan demikian, di dalam keserasian sosial terkandung juga suasana tertib sosial.  Setiap individu akan menjaga tata lakunya untuk tidak merusak tatanan sosial yang telah dibangun bersama melalui proses pembiasaan dan pembelajaran yang panjang.

Pengikat keserasian sosial selain kesadaran individu bahwa hidup tidak dapat dijalani sendirian, juga karena adanya nilai-nilai kehidupan yang harus ditaati oleh individu  yang ingin dihargai sebagai manusia. Artinya, manusia yang waras adalah manusia yang hidupnya mempunyai makna dari segi harkat dan martabat. Nilai-nilai kehidupan merupakan sesuatu yang dianggap baik, berharga, dan bermakna untuk dijadikan pegangan dalam mengarungi kehidupan bersama sehingga hidupnya menjadi bahagia, sejahtera dan nyaman. Nilai-nilai dapat berupa nilai moral/kebaikan (baik - buruk), nilai estetika/keindahan (indah - tidak indah) dan nilai kebenaran (benar – salah). Sumber nilai umumnya berasal dari hasil interaksi sosial yang akhirnya mengkristal menjadi norma sosial dan juga dari ajaran-ajaran agama. Dalam tataran nasional keserasian nasional dilandasai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Jika setiap individu dalam perilakunya dapat selalu bersandar pada nilai-nilai kehidupan tersebut, maka keserasian sosial akan terwujud dan akan dirasakan nikmatnya untuk memabngun keserasian nasional. 

Salah satu contoh nilai mendasar yang hidup di masyarakat Indonesia dan merupakan prinsip untuk memelihara atau mewujudkan keserasian sosial adalah budaya tolong menolong atau  budaya gotong royong atau  bahu membahu yang tidak hanya mampu menyelesaikan pekerjaan berat, tapi proses penyelesaiannya pun bisa jauh lebih cepat. Nilai gorong royong ini juga sejalan dengan ajaran agama Islam dalam QS.Al-Maidah:2  Allah SWT berfirman :“Dan saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” Ya, Allah SWT hanya memerintahkan kita untuk saling bahu-membahu dalam kebaikan, bukan dalam melakukan dosa dan kejahatan.
Keserasian sosial bukan hal yang mati  atau statis akan tetapi bersifat   dinamis, bergerak terus  seiring atau sama dengan  sifat manusia yang selalu bergerak, dinamis, kreatif dan  ingin selalu berubah untuk menemukan hal-hal baru. Di zaman batu, manusia hanya mengenal peralatan rumah tangga yang terbuat serba dari batu. Manusia terus berfikir dan berkreasi terus berkembang sampai akhirnya seperti sekarang yang serba elektronik, hidupnya semakin mudah dan nyaman.  Setiap terjadi penemuan-penemuan baru akibat kreatifitas manusia atau masuknya nilai-nilai baru akan selalu terjadi gangguan atau goncangan terhadap keserasian sosial dengan skala yang bisa  rendah, sedang atau tinggi. Rentang waktu kegoncangan dapat sebentar, agak lama dan mungkin lama sekali.  Hal itu sangat tergantung dari hasil inovasi atau kekuatan daya dobrak nilai yang masuk atau dimasukkan, tingkat daya adaptasi dan penerimaan individu, serta katup pengaman sosial yang ada.   Sebagai contoh, ketika ada nilai baru berupa kebijakan penggunaan bahan bakar gas menggantikan minyak tanah untuk  kepentingan memasak di rumah tangga, maka yang terjadi adalah perubahan perilaku keluarga dan perilaku bisnis yang berarti mengganggu keserasian sosial. Banyak korban luka dan meninggal gara-gara nilai baru.   Tetapi gangguan tersebut tidak lama dan keserasian sosial kembali terwujud dengan bentuk yang baru dengan ditandai adanya kemajuan ibu-ibu rumah tangga mampu menggunakan kompor gas sebagai simbol modernitas yang berdampak pada kebersihan lingkungan dapur, efisiensi, dan sebagainya. Keserasian sosial tidak akan begitu terganggu manakala tidak dengan pemaksaan tetapi memulai dengan proses sosialisasi yang cukup dan adanya akulturasi alamiah.
Kendatipun keserasian sosial bergerak dinamis akan tetapi pergerakannya harus dijaga dan dikendalikan agar masuknya nilai baru  berlangsung adaptif, tidak sampai menimbulkan goncangan yang mengganggu  keserasian  sosial. Kecuali faktor penyebab terjadinya ketidakserasian sosial karena di luar kemampuan kendali manusia (bencana alam, wabah penyakit) atau ulah manusia yang sengaja merusak (peperangan, terorisme), maka tindakan yang segera dilakukan adalah mengurangi atau menghambat   terjadinya ketidakserasian sosial semakin parah dan meluas.
Dalam konteks  Negara Indonesia, persoalan keserasian sosial dijadikan isu dan program penting bagi Kementerian Sosial karena berkaitan erat dengan berbagai persoalan sosial sebagai akibat berbagai bencana yang selalu menjadi langganan masyarakat dan pemerintah. Itulah sebabnya, Kementerian Sosial mempunyai program Keserasian Sosial Berbasis Masyarakat (KSBM) yang diberi makna  suatu bentuk kegiatan kesejahteraan sosial baik fisik maupun non-fisik yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan agar tercipta kehidupan sosial yang harmonis dan penuh persaudaraan yang dilandasi semangat saling menghargai, saling menghormati antar anggota dan komunitas masyarakat dan tanpa membedakan golongan, asal usul serta lainnya.
Istilah berbasis masyarakat perlu ditonjolkan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat agar dapat terlibat mengurus dan mengatur dirinya sendiri. Kunci sukses suatu program kegiatan sosial sebenarnya dapat dilihat dari tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat yang tumbuh dari dalam dirinya.  Pada hakekatnya manusia akan ikhlas terlibat dan bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan jika dirinya dihargai sebagai manusia. Artinya, jika manusia  atau masyarakat diajak berfikir untuk mengenali permasalahan dirinya, dilibatkan merencanakan, mengerjakan, mengawasi terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya sehingga merasa memiliki dan bertanggung jawab, maka hal itu merupakan tanda-tanda terang bahwa program kegiatan  akan berjalan menuju kepada keberhasilan. Inilah nantinya yang diharapkan akan lahir masyarakat madani, masyarakat yang mampu mengurus dirinya sendiri.
Pendampingan Sosial
Dari segi bahasa, kata pendampingan diberi makna proses, cara, perbuatan mendampingi atau mendampingkan (KBBI, 2005:234). Sedangkan mendampingi diartikan menemani, menyertai dekat-dekat. Karena pendampingan sebagai suatu proses maka kegiatan mendampingi tersebut dapat dilakukan terus menerus tanpa henti sepanjang yang didampingi masih ada dan memerlukan pendampingan. Berhubung kehidupan sosial merupakan suatu proses yang selalu bergerak dan dinamis, maka  agar selalu dapat  terwujud keserasian sosial sangat bijak kalau terus  dilakukan pendampingan sebagai  tindakan perbaikan sekaligus fungsi pengendalian agar tidak terjadi disharmoni sosial.

Pendampingan sosial merupakan konsep yang berlandaskan kepada kedekatan secara emosi dan fisik antara pendamping dan pihak yang didampingi sehingga dengan adanya kedekatan emosional dan fisik tersebut memudahkan  dalam mengatasi persoalan-peroalan sosial yang dihadapi. Pendampingan juga dapat diberi makna kesejajaran atau kesetaraan. Dengan status yang sejajar atau setara yang berarti tidak ada perbedaan status dan peran yang leba,r maka sangat memungkinkan segala sesuatunya menjadi relatif lebih mudah, komunikasi lebih lancar dan terbuka. Kedekatan emosional antara pendamping dan yang didampingi akan menghilangkan hambatan psikologis antara orang luar /asing (pendamping) dan orang dalam (masyarakat). Itulah sebabnya, dalam bidang pekerjaan sosial para pekerja sosial lebih tepat digunakan istilah pendamping dari pada tutor, guru, pengarah, motivator, problem solver, fasilitator, dan istilah-istilah lain yang mengambarkan adanya perbedaan status yang berdampak tidak mendukung keberhasilan program.

   Pendamping sosial dapat berperan berganti-ganti sesuai tuntutan program dan masalah yang dihadapi. Edi Harto (2002) mengutip Payne (1986); Johnson  (1989); DuBois dan Miley (1992); Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994) menempatkan pekerja sosial sebagai pendamping sosial yang dikontekstualkan sebagai fasilitator, pemungkin, broker, mediator, pembela dan pelindung sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pendamping sosial  mempunyai peran yang berbeda-beda tergantung dari fungsi yang diemban dan strategi yang bakal dilaksanakan. Dengan demikian, seorang pendamping (selain menguasai permasalahan yang dihadapi),  harus mempunyai kecakapan teknik berkomunikasi dan mengajar  yang mumpuni atau handal dengan dukungan sifat pribadi yang supel bergaul, ramah, tidak mudah marah, lincah bergerak, diterima semua kelompok, tidak sombong,  sederhana, dapat dipercaja, jujur, sabar, bertanggung jawab, dan sifat-sifat baik lainnya. Sepertinya pekerja sosial dituntut dapat berperilaku seperti malaikat. Tuntutan seperti itu rasanya wajar karena kalau tidak demikian ada kemungkinan besar program pendampingan tidak akan berjalan baik. Perlu selalu diingat bahwa yang dihadapi pendamping sosial pada umumnya kelompok atau satuan masyarakat  yang sedang sakit (disharmoni)  atau dalam posisi lemah, tidak stabil, mudah marah tidak sabar dan perilaku lain yang mungkin menjengkelkan sehingga dibutuhkan pekerja-pekerja sosial yang tahan banting dan mampu memahami kondisi psikis masyarakat tersebut.  

Selain tuntutan sifat-sifat baik tersebut, ada yang  menyatakan bahwa menjadi pekerja/pedamping sosial merupakan panggilan jiwa. Pernyataan tersebut bisa benar mengingat tugas pendampingan sosial umumnya berhadapan dengan permasalahan masyarakat yang membutuhkan sentuan jiwa seperti rasa keibaan, belas kasihan, rela berkorban, dan rasa-rasa lain yang menyentuh hati untuk mau membantu penderitaan orang lain. Jika  menjadi/pendamping pekerja sosial tidak mempunyai unsur panggilan jiwa tetapi lebih dikarenakan panggilan pamrih (uang, ingin popular, dll) maka yang bersangkutan akan tertekan dan menyebabkan masalah baru yang menjadikan program akan gagal jika pamrihnya tidak dapat diraih.

Selain sifat-sifat baik dan panggilan jiwa sebagai modal dasar yang penting , pendamping sosial hendaknya mempunyai kecakapan/skill khusus yang terus menerus dijaga dan ditingkatkan kualitasnya baik secara pribadi maupun kelompok sesuai dengan tantangan yang bakal dihadapi. Pendamping sosial bisa berstatus relawan untuk tugas-tugas tertentu dan dalam jangka pendek (tanggap darurat), tetapi juga dapat berstatus profesional dan jangka panjang. Munculnya berbagai organisasi relawan atau pendamping sosial perlu diapresiasi oleh semua pihak khususnya Pemerintah untuk menjaga kontinuitas, kesiapan dan kesigapan dalam menghadapi berbagai bencana yang sewaktu-waktu muncul merobek-robek disharmoni sosial.

Mengingat bahwa bencana alam tidak setiap hari terjadi, maka pemeliharaan skill menjadi penting (khususnya mereka yang masuk kategori profesional) sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan sudah selalu siap. Dalam kasus-kasus bencana alam, skill yang dibutuhkan untuk tanggap darurat dan pasca tanggap darurat (rekonsiliasi, rekontruksi) tentu akan berbeda.  Dalam kondisi tanggap darurat atau ketidakharmonisan sosial segala sesuatunya harus bersifat segera dan serba cepat. Manajemen tanggap darurat harus benar-benar mendapat perhatian khusus. Pengalaman yang sudah-sudah setiap terjadi bencana alam ada kesan manajemennya amburadul, serba terlambat. Untuk itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana harus bekerja lebih keras lagi untuk menyusun, mengkoordinasikan, memetakan, memobilisasi, pelatihan,dan tugas-tugas  lainnya yang berkaitan dengan  penaganan tanggap darurat dalam  bencana alam. Perlu mendapat perhatian serius adalah menyiapkan atau memberikan pengetahuan/pendidikan masyarakat yang rawan bencana secara cukup sehingga amasyarakat sudah mampu menyiapkan diri secara fisik dan mental sewaktu-waktu terjadi bencana alam yang berdampak kepada ketidakserasian sosial. Lihatlah, bagaimana masyarakat Jepang menghadapi gempa yang begitu dahsyat dengan relatif tenang. Masyarakat Jepang sudah dipersiapkan secara mental dan pemerintah dengan teknologi yang dimiliki telah berusaha memperkecil dampak resiko gempa yang dapat diprediksi.

Pendampingan sosial selain dilakukan pada kondisi masyarakat yang tidak serasi untuk menuju masyarakat yang serasi, dapat juga dilakukan pada kondisi masyarakat yang sudah serasi  untuk ditingkatkan kualitas keserasiannya. Namun sasarannya tetap diprioritaskan kepada masyarakat yang  pernah menjadi korban suatu bencana tertentu. Berhubung kondisi masyarakatnya sudah dalam kondisi tidak tanggap darurat atau masyarakat yang sudah serasi (normal), maka pendampingan yang dilakukan disesuaikan atau tergantung dengan program peningkatan keserasian sosial berbasis masyarakat yang dicanangkan. Program peningkatan KSMB dapat bersifat fisik dan non fisik dengan varian kegiatan yang beraneka ragam sesuai kebutuhan masyarakat yang dijadikan sasaran KSBM.  Oleh karena, pendampingan harus dilakukan melalui perencanaan yang matang dan para pendamping harus  benar-benar dipilih sesuai kebutuhan kegiatan  dan yang berkualitas.

Perencanaan harus diawali dengan kajian atau penelitian yang cukup tentang permasalahan yang dihadapi dengan melibatkan masyarakat sasaran (participatory rural/urban appraisal). Dalam pelaksanaan (action) dan pengawasan (contolling) masyarakatlah yang harus memainkan peranan utama karena program yang dikerjakan memang milik masyarakat, dari masyarakat dan untuk masyarakat yang bersangkutan. Pemerintah hanya memberikan fasilitasi melalui pendmaping sosial. Dengan demikian, tugas pendamping ya hanya mendampingi berupa tindakan mengarahkan jika kurang tepat, melurusakan jika akan bengkok, membetulkan jika ada gejala yang salah,  menjawab jika ada pertanyaan, menunjukkan jalan yang perlu dilalui jika ada kebingungan, sebagai teman berdikusi, dan memberikan fasilitasi lainnya sesuai dengan kesulitan dan kebutuhan masyarakat dan programnya.
Hal lain yang perlu diwaspadai dalam tugas pendampingan adalah potensi  resistensi atau perlawanan atau kendala dan hambatan yang mungkin muncul selama program KSBM berlangsung. Potensi kendala dan hambatan bisa muncul dari internal (in-group) atau dari eksternal (out-group) atau malah dari keduanya. Mengenali atau melakukan identifikasi potensi kendala dan hambatan lebih dini jauh lebih baik karena menjadi lebih siap bila terjadi sesuatu. Sedia payung sebelum hujan toh lebih baik daripada sama sekali tidak tersedia payung. Sikap seperti ini bukan curiga tetapi lebih kepada kehati-hatian. Tentu saja potensi kendala dan hambatan yang perlu diidentifikasi yang bakal berpangaruh signifikan terhadap KSBM yang dijalankan. Namun, jika kunci berbasis masyarakat benar-benar diterapkan maka potensi kendala dan hambatan yang datang dari internal akan mudah dihadapi dan diselesaikan.
Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan mudahnya masyarakat mendapatkan informasi dari berbagai sumber dalam waktu yang begitu cepat menunjukkan makna bahwa masyarakat mempunyai peluang mencari pembanding (second opinion) terhadap program  KSBM yang sedang dijalankan. Untuk itu, pendampingan sosial harus menerapkan prinsip good governance khususnya menekankan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas sehingga akan menghilangkan prasangka negatif khususnya dalam hal pengelolaan keuangan. Alangkah nistanya dan lucunya jika dalam pendampingan sosial terjadi korupsi. Tegakah menyakiti masyarakat yang sedang sakit?.

Penutup
            Makalah sederhana ini memang tidak membahas hal-hal teknis dalam pendampingan sosial, tetapi lebih menekankan kepada hakikat tugas pendampingan sosial  yang bersifat luhur dengan orientasi tugas kemanusiaan. Untuk itu, tugas kemanusiaan ini membutuhkan pendamping-pendamping yang berjiwa sosial, tanpa pamrih materi yang berlebihan, bekerja ikhlas, penuh dedikasi dan pengabdian, rela berkorban, penuh kesabaran, amanah, ramah, santun, dan sikap-sikap luhur lainnya. Kalau ada yang dikejar dan dicari, maka para pendamping sosial ini hanya akan mencari kepuasan batin bisa menolong sesama dan bahagia bisa membahagiakan orang lain. Kebahagiaan sejati adalah apabila kita dapat membahagiakan orang lain. Salah satunya adalah mampu menjadi pendamping sosial yang bermoral/berakhlak. Terima kasih.

                                                                                                Palembang, 13 Juli 2011.
           













           


  

           










INTEGRITAS KEPEMIMPINAN
dalam
MENJEMBATANI KEMAJEMUKAN BANGSA[1]

Oleh:
Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

Pendahuluan
            Para pendiri NKRI menyadari bahwa Bangsa Indonesia dibentuk dari berbagai suku bangsa (etnis) yang beraneka ragam. Berapa kepastian jumlah suku bangsa sebagai unsur pembentuk bangsa Indonesia?.   Sampai sekarang belum ada data yang valid untuk menyebutkan jumlah yang pasti. Selama ini hanya dinformasikan bahwa suku bangsa Indonesia ada lebih dari 300 suku bangsa(lihat di http://id.wikipedia.org).  Namun dalam suatu berita mengenai sensus  terakhir (2010) yang dilansir oleh JPPN Nasional melalui http://www.jppn.com Rabu, 03 Februari 2010, 16:54:00 menyampaikan berita sebagai berikut:

Mungkin tak banyak warga negeri ini yang tahu, berapa persisnya jumlah suku bangsa di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata telah melakukan survei mengenai jumlah suku bangsa tersebut. Kepala BPS, Rusman Heriawan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (3/2), menyampaikan bahwa dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa.  "Suku bangsa menjadi salah satu poin sensus terbaru BPS. Sebelumnya memang sudah ada, tapi tidak terlalu spesifik. BPS mulai melakukan sensus suku bangsa ini secara detail, dan akhirnya diketahui bahwa Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa," kata Rusman. Tidak seperti poin sensus lainnya, guna mengetahui jumlah suku bangsa di Indonesia ini, BPS mengaku harus bekerja lebih ekstra. Karena kata Rusman, petugas sensus harus bersentuhan dengan keberagaman suku dan adat istiadat di seluruh penjuru negeri ini. "Bahkan, petugas kami pernah dikenakan hukum adat di Kalimantan Timur saat melakukan sensus. Karena dianggap menyalahi ketentuan adat, petugas sensus kami diwajibkan membayar denda. Denda adat itu wajib dibayar, padahal karena jumlahnya yang sangat besar, BPS dan Pemda pun tidak sanggup melunasinya," papar Rusman pula. Setiap saatnya, kata Rusman lagi, sensus penduduk yang dilakukan BPS akan terus dikembangkan untuk mengetahui hal-hal spesifik lainnya di Indonesia. Untuk itulah katanya, BPS terus berupaya mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak, mulai dari kementerian hingga pemerintah daerah. (afz/jpnn)

            Banyaknya suku bangsa di Indonesia dengan aneka ragam tradisi dan budaya menjadikan Bangsa Indonesia dikenal dengan sebutan bangsa majemuk atau plural atau heterogen. Fakta demikian memberi  inspirasi  para pendiri bangsa  dengan memberi  sebutan  sebagai bangsa bhineka (aneka ragam) namun tetap terikat dalam ketunggalan  (satu)   negara dan  bangsa  Indonesia, yang akhirnya popular  dengan kalimat  cita-cita dan harapan: Bhineka Tunggal Ika yang dicengkeram kuat  oleh Burung Garuda sebagi salah satu simbol Negara.
Kebhinekaan suku bangsa sebagai Bangsa Indonesia harus terus dijaga, dibina dan dikelola dengan baik. Di balik kebhinekaan tersebut,  selain sisi positif sebagai kekuatan potensi budaya dan wisata, akan tetapi juga  mempunyai potensi  negatif karena dapat memicu  konflik atau permusuhan antar etnis yang akan merugikan bagi NKRI. Dalam perjalanan sejarah bangsa, konflik  yang disebabkan karena  latar belakang etnis/suku, agama,  golongan dan  kelompok  yang dikenal dengan sebutan konflik SARA,  sering terjadi bahkan sampai sekarang masih juga terjadi. Perubahan sistem politik dari otoritarian ke demokrasi tidak berarti eskalasi konflik sosial menurun. Pada waktu  orde baru, konflik sosial berbau SARA menyeruak terjadi di mana-mana. Tahun 1996 terjadi kerusuhan sosial di Situbondo, disusul  tahun-tahun berikutnya di Tasikmalaya, Rengasdengklok,  Sanggau Ledo (Kalbar), Banjarmasin, Karawang, Tegal, Ambon, Maluku Utara, Poso, dan tempat-tempat lain yang eskalasinya lebih kecil. Sepanjang tahun 2010 terjadi pembakaran dan pengrusakan di mana-mana terhadap tempat ibadah, sekolah dan rumah  milik kelompok Ahmadiyah bahkan sampai terjadi pembunuhan (Cikeusik, Pandeglang). Pada bulan Februari 2011 terjadi  pembakaran gereja dan mobil  terjadi di Temanggung.
Konflik yang popular dengan sebutan konflik SARA  (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) dapat berlangsung dengan skala besar  sedang dan kecil. Konflik SARA  dapat  berlangsung secara terbuka (manifest) maupun  terselubung (laten).  Konflik yang terbuka sangat berbahaya karena dapat  jatuh korban harta benda dan manusia, bahkan kalau tidak diselesaikan dengan baik akan mengancam NKRI.  Konflik terselubung biasanya merupakatan kompetisi/persaingan  dalam berbagai bidang kehidupan yang tidak muncul ke permukaan tetapi sering dijadikan bahan pembicaraan untuk pertimbangan dan masukan dalam suatu tindakan. Misalnya, dalam pilkada langsung, acapkali terjadi persaingan antara suatu etnis tertentu atau kelompok tertentu, atau etnis dijadikan basis perhitungan perolehan suara. Atau dalam kehidupan agama, kelompok atau aliran dalam agama  sering terjadi persaingan atau permusuhan antar penganutnya.
Di era demokrasi ini, kemajemukan bangsa tidak saja berdasarkan etnis dan agama atau suku bangsa, tetapi juga semakin banyaknya masyarakat berkelompok karena kebebasan mendirikan suatu organisasi. Partai politik yang begitu banyak juga merupakan potensi terjadinya konflik antar golongan. Munculnya ideologi  yang beraliran radikal juga menjadi basis gerakan-gerakan yang memicu konflik. Terorisme yang menjamur di Indonesia merupakan wujud ideologi radikal yang dianut oleh anak-anak muda. Dengan demikian, potensi terjadi konflik sosial dalam masyarakat sangat besar dan sewaktu-waktu dapat muncul.
Mengelola bangsa yang majemuk (heterogen) tentu  relatif lebih sulit dibandingkan dengan bangsa yang relatif tunggal (homogen). Kondisi bangsa yang majemuk rentan konflik yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itu, sangat dibutuhkan kemampuan mengelola masyarakat majemuk dengan baik dibawah kepemimpinan politik, agama dan sosial    yang mempunyai integritas tinggi. Pemimpin dibutuhkan agar masyarakat dapat tertib. Kemajemukan dan kompleksitas masyarakat membutuhkan pemimpin berintegritas tinggi. Berkenaan dengan itu, maka tulisan pendek ini mencoba untuk mengetengahkan landasan dan bekal untuk menjadi pemimpin yang mempunyai integritas dalam memimpin bangsa yang majemuk sebagaimana dituangkan dalam judul tulisan ini yakni: INTEGRITAS KEPEMIMPINAN DALAM MENJEMBATANI KEMAJEMUKAN BANGSA.

Menyadari  Kemajemukan Bangsa
            Sudah  merupakan suatu keharusan seorang pemimpin kalau akan sukses memimpin mesti mengetahui  kondisi yang dipimpin. Pemahaman terhadap kondisi yang dipimpin akan dijadikan bekal dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Pemimpin yang bergerak dalam ranah publik (masyarakat) akan berbeda dengan pemimpin yang bergerak dalam ranah privat (perusahaan).  Publik yang heterogen  akan berbeda dengan publik yang homogen.
            Publik atau masyarakat atau bangsa Indonesia sudah disinggung di atas sebagai bangsa yang majemuk atau plural atau bhineka atau heterogen. Aliran yang yang mempelajari hal kemajemukan bangsa disebut dengan pluralisme. M Dawam Rahardjo dalam Kata Pengantar buku berjudul  Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme (Budhy Munawar Rachman, 2010) mengawali tulisannya tentang pluralisme dengan mengemukakan sebagai berikut:
            “Pada dasarnya liberalisasi pemikiran adalah konsekuensi dari proses pluralisasi masyarakat modern yang makin kompleks yang mendorong keterbukaan komunikasi antar warga masyarakat. Sebenarnya, komunitas Madinah pasa zaman Nabi sendiri lahir dari suatu masyarakat yang plural. Tanpa masyarakat plural ini, tidak akan lahir Piagam Madinah yang menjadi konstitusi masyarakat Madinah pada waktu itu. Pada waktu Piagam Madinah dirumuskan dan disetujui, komunitas Islam masih merupakan minoritas. Komunitas terbesar adalah Yahudi, ditambah komunitas Kristen dan penganut kepercayaan Pagan. Justru dalam masyarakat yang plural itu, Nabi Muhammad berperan sebagai pemersatu, tanpa melebur diri ke dalam masyarakat tunggal. Dalam kesepakatan plural itu, diproklamasikan terbentuknya “masyarakat yang satu”. Namun  identitas kelompok tetap diakui  dan bersepakat untuk membentuk solidaritas, itulah hakekat pluralisme yang merupakan reaktualisasi pluralitas di zaman klasik Islam”.
            Penjelasan M Dawan Rahardjo tersebut sangat gamblang bahwa pluralitas sudah ada sejak Islam masih minoritas di Madinah dan peran nabi sangat besar untuk mewujudkan solidaritas antar kelompok. Dalam ajaran agama Islam,  Allah SWT  juga berfirman : “Hai, manusia,  sesungguhnya Aku menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang mulia di antara kalian  adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”.( Q. S. Al-Hujarat : 13). Berdasarkan firman Tuhan tersebut, kebhinekaan bangsa memang sudah kehendak Allah yang harus diterima oleh manusia. Sikap menerima seharusnya diwujudkan dengan perilaku menghargai sesama manusia tanpa pandang status, warna kulit, budaya, suku dan sebagainya. Jika ada orang atau kelompok manusia memandang rendah manusia atau kelompok lain atau bertindak  sewenang-wenang terhadap manusia atau kelompok lain, berarti orang  atau kelompok tersebut mengingkari kehendak Allah, berani dengan Allah swt yang sudah menciptakan  kemajemukan umat manusia. Namun, kenyataannya memang banyak manusia    yang belum menyadari akan hal tersebut.      
Orang atau suatu kelompok masyarakat cenderung  akan berusaha untuk menjaga eksistensinya  dan identitasnya  dari serangan kelompok lain. Upaya ini dengan sebutan politik identitas. Biasanya suatu kelompok  melancarakan politik identitas karena hasrat dan kehendak untuk memelihara atau mempertahankan hegemoni kelompok mayoritas, dan sebaliknya kelompok minoritas bertahan agar dapat memeliharan identitas kelompoknya.
Dalam masyarakat plural kedua aspirasi tersebut akan menimbulkan konflik dan ketegangan.  Padahal, dalam ajaran pluralime, identitas tidak perlu menimbulkan konflik karena politik identitas kelompok tidak perlu dilancarkan. Dalam pluralisme, identitas justru diakui. Perbedaan bukan untuk perpecahan tetapi untuk memperkokoh keinginan bersama. Dalam politik multikulturalisme, pemerintah justru harus melindungi bahkan membantu kelompok minoritas.  Dengan pluralisme, pluralitas masyarakat akan menjadi masyarakat kreatif.  
Potensi pluralitas atau kemajemukan bahkan akan mendatangkan keuntungan. Sebagai contoh, masyarakat dan budaya Bali yang Hindu, atau Toraja yang Kristen justru dikenal dunia sebagai ikon Pariwisata Indonesia karena dinilai unik dalam suatu masyarakat yang mayoritas MUSLIM. Etnis lain seperti suku Dani atau Asmat   di Papua atau etnis Baduy dan lain-lainnya  menjadi daya tarik bagi dunia pariwisata  yang dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat. Peninggalan sejarah peradaban agama Budha dan Hindu seperti Candi Borobudur, Prambanan, Dieng dan tempat-tempat lainnya  merupakan lambang kejayaan masa lalu bahwa bangsa Indonesia telah melalui proses akulturasi budaya yang menjadikan mempunyai sikap toleransi yang tinggi.  Ikon candi tersebut membawa manfaat yang besar secara ekonomi bagi  masyarakat yang mayoritas beragama Islam.  Masuknya Islam ke Indonesia tidak melalui kekerasan tetapi melalui proses transformasi dan akulturasi dengan semangat kebersamaan dan solidaritas. Jadi, semangat dan dasar-dasar pluralisme  sebenarnya sudah dimilki oleh Bangsa Indonesia. Sikap saling toleransi, mengormati,  menghargai, sudah ada sejak benih-benih bangsa ini terbentuk. 
Namun dalam perjalanan sejarah bangsa  pluralisme belum banyak disadari oleh masyarakat dan para pemimpin sehingga masih sering muncul sikap egoisme kelompok yang berlebihan.  Hanya kelompok dirinyalah yang paling benar, yang paling berhak, yang paling hebat dan sebagainya sehingga memunculkan sikap meremehkan kelompok lain. Kelompok lain yang merasa diremehkan dan tidak dianggap biasanya tidak tinggal diam dengan melakukan serangan balik sehingga sering muncul  ketegangan sosial baik secara laten maupun terbuka yang dapat berujung pada konflik sosial.
 Kadangkala, konflik-konflik sosial disebabkan bukan semata-mata adanya perbedaan atas dasar SARA dan egoisme kelompok yang berlebihan, tetapi lebih dikarenakan faktor lain, misalnya adanya ketidakadilan, kurangnya komunikasi sosial, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya,  agama dijadikan alat politik atau kepentingan sempit,   kebijakan pemerintah yang kurang menghargai kearifan lokal, ideolog lain yang semakin merasuki pemikiran masyarakat seperti liberalisme, materliasme, individualisme, dan hedonisme, dan yang tidak dapat diabaikan adalah karena menurunnya moral spiritualisme. Menurut Stevri Indra Lumintang (2009:146-163) permasalahan bangsa yang muncul pada dasarnya dikarenakan adanya cara pandang yang dikotomis. Ada 14 poin dikotomis yang berkembang dalam masyarakat antara lain: dikotomis antara generasi tua dan angkatan muda, antara profil pemimpin beragama Islam dan Kristen, antara nasionalisme dan agamaisme, antara Jawa dan non jawa, antara pemimpin laki-laki dan perempuan, antara militer dan sipil, nasionalsime dan internasionalisme, antara agama damai dan kekerasan, antara  teologi dan idiologi, antara pribumi dan non pribumi, antara hak azasi manusia (HAM) dan kejahatan manusia, antara pluralisme dan fundamentalisme.   Cara pandang yang dikotomis tersebut sangat berbahaya  bagi keutuhan NKRI.
Bahwa setiap orang dan kelompoknya dalam memenuhi kepentingannya kadang  dituntut harus  bersaing  dengan pihak lain dan dalam persaingan itu tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal negatif yang dapat memicu konflik.  Dalam situasi seperti ini fungsi dan tugas pemerintah melalui para pemimpin formalnya dari Presiden  sampai dengan Kepala Dusun bahkan Ketua RT  mempunyai tugas untuk menjaga dan menjembatani agar dinamika kelompok dalam berkompetisi dalam memenuhi kepentingannya dapat selalu serasi sehingga tidak memicu konflik. Pemerintah melalui pemimpin formalnya harus juga dapat menekan dampak permasalahan dari cara berfikir yang dikotomis. Untuk itu, selain harus memahami dan menyadarii akan pluralisme, seorang pemimpin harus berkarakter, harus  mempunyai jiwa kepemimpinan  yang salah satunya adalah mempunyai integritas.

Memahami Integritas Pemimpin
            Sebelum membahas integritas pemimpin perlu dipahami dulu makna integritas. Istilah tersebut bukan dari bahasa Indonesai tetapi dari bahasa asing (inggris) yakni integrity yang diartikan  mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran (http://www.artikata.com.).  Sedangkan  A.M. Lilik Agung (2007:31) mengemukakan bahwa integritas sering diartikan sebagai satunya pikiran, perkataan dan perbuatan. Jika merujuk pada kata asalnya, yaitu integer, maka integritas mempunyai makna berbicara dengan utuh dan sepenuh-penuhnya.
Integritas sering dikaitkan dengan kejujuran. Kejujuran adalah mengatakan apa yang telah dilakukan. Kejujuran tidak berpatokan kepada salah atau benar terhadap apa yang dilakukan, tetapi lebih menekankan kepada kebenaran terhadap apa yang dikatakan dengan yang telah dilakukan. Sedangkan integritas bermakna melakukan apa yang telah dikatakan. Jika seseorang mengatakan atau berjanji akan melakukan sesuatu kemudian janjinya atau yang dikatakannya tersebut benar-benar diwujudkan, maka seseorang tersebut dapat dikatakan mempunyai integritas. Sebaliknya, kalau yang dikatakan tidak diwujudkan berarti tidak mempunyai integritas. Jadi, orang yang tidak mempunyai integritas dapat dikatakan  berbohong atau pembual atau ingkar janji atau tidak dapat dipercaya atau tidak amanah atau tidak bertanggung jawab tentang apa yang dikatakan. Hal ini berarti bahwa sikap tidak mempunyai integritas merupakan sikap yang tidak terpuji dan tidak baik karena dapat merugikan pihak lain.
Setiap orang tidak ingin dicap sebagai pembohong atau predikat negatif lainnya. Untuk itu,  tentu setiap orang harus mempunyai dasar berbijak pada nilai-nilai moral atau akhlak atau karakter. Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, bermanfaat dan berharga bagi kehidupan manusia. Nilai bisa diikuti oleh semua orang (universal) atau hanya berlaku dalam suatu kelompok orang (spesial). Nilai dapat bersifat konkrit (materi, kebendaan) dan abstrak (ajaran kehidupan). Ajaran kehidupan atau nilai-nilai kehidupan pada umumnya bersumber  dari ajaran agama atau keyakinan spiritual atau ideologi tertentu. Dalam tataran individu, maka nilai-nilai kehidupan yang diikuti umumnya bersumber pada ajaran agama. Ajaran agama berdimensi vertikal (beribadah pada Tuhan) dan berdimensi horizontal (beribadah dengan sesama atau masyarakat). Orientasi ajaran agama untuk kehidupan di dunia dan di akhirat. Jika seseorang dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan baik maka akan mendapat predikat orang yang bermoral, berakhlak, berkarakter, berintegrita,  yang berbuah kepada kenikmatan hidup di dunia dan kelak di akhirat.  
Dalam konteks NKRI, warganegara Indonesia  dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mempunyai landasan berpijak pada idiologi yang disebut Pancasila. Jika agama lebih menekankan sebagai sumber dan landasan nilai-nilai kehidupan yang lebih bersifat individual untuk kepentingan dunia akhirat, maka Pancasila lebih menekankan sebagai landasan dan sumber  nilai-nilai kehidupan untuk hidup berkelompok yakni untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih menekankan kepada urusan dunia. Pendek kata, jika kita ingin meraih sukses di dunia dalam kehidupan berkelompok yakni bermasyarakat, berbangsa dan bergnegara, maka jadikanlah nilai-nilai Pancasila sebagai dasar pegangan hidup.
Dalam kehidupan duniawi yang berdimensi masyarakat, berbangsa dan bernegara dalam konteks NKRI dibutuhkan kehadiran dan peranan pemimpin yang berintegritas alias berkarakter atau berakhlak atau bermoral Pancasila. Pancasila  mengajarkan antara lain nilai-nilai hidup bertoleransi, menghargai dan menghormati kelompok lain atau golongan lain sehingga dengan ajaran bertoleransi yang tertanam secara mengakar dalam diri individu maka tidak akan tumbuh benih-benih konflik dalam diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian, untuk dapat melahirkan pemimpin yang berkarakter Pancasila dan berintegritas harus  ditanamkan atau disosialisasikan atau diajarkan dalam diri anak-anak Indonesia sejak dini secara terus menerus, berlanjut  sepanjang hayat. Tempalah besi ketika masih panas maka akan mudah dibentuk. Begitulah pepatah mengatakan. Jadi, jika sejak dini dalam diri anak-anak sudah diajarkan nilai-nilai Pancasila secara terencana melalui berbagai sarana seperti keluarga, sekolah, media massa dan organisasi akhirnya akan terbentuk sikap  anak yang berakhlak Pancasila, berbudi pekerti dan  berintegritas.
Permasalahannya adalah saat ini muncul gejala para pemimpin bangsa tidak atau kurang mempunyai integritas. Buktinya banyak pemimpin bangsa yang korupsi, tidak adil, cenderung mementingkan kelompoknya, hidup mewah, dan tindak perilaku lain dari pemimpin yang tidak terpuji dan tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin. Keteladanan seorang pemimpin boleh dikatakan tidak ada. Di sisi masyarakat juga banyak terjadi perilaku menyimpang seperti  banyak kasus konflik antar dan inter umat beragama, konflik antar kelompok dan golongan, perkelaian antar kelompok masyarakat, dan perilaku masyarakat lainnya yang tidak sesuai dengan karakter Pancasila. Situasi kepemimpinan bangsa tanpa keteladanan menjadi persoalan yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh.
 Menjadi pemimpin memang harus mempunyai berbagai kelebihan ketimbang  yang dipimpin, khususnya kelebihan dalam hal moral, akhlak atau karakter. Kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk bekal menjadi pemimpin yang sukses. Otak encer tetapi kalau hati bebal, tidak akan terarah. Otak pintar tetapi tak bermoral, akan bertindak ngawur yang merugikan rakyat. Untuk itu, selain cerdas intelektual seorang pemimpin harus mempunyai kelebihan atau kecerdasan  dalam mengelola emosi dan mengelola spiritual atau akhlaknya dengan baik.
Selain nilai-nilai Pancasila sebagai sumber akhlak kepemimpinan yang berintegritas, ajaran leluhur bangsa dan kearifan lokal dapat dijadikan dasar dan pegangan untuk menjadi pemimpin yang baik. Salah satu warisan ajaran leluhur tersebut adalah ajaran hasta brata (delapan perilaku) bagi pemimpin. Delapan laku/tindak pemimpin dimaksud adalah dengan mengacu kepada sifat-sifat dan kekuatan delapan (hasta) alam ciptaan Tuhan yakni alam matahari (surya),  bulan (candra), bintang (kartika), awan (mega), angin (maruta), bumi (bantala), api (dahana), dan lautan (segara).

1.      Matahari.
Sifat matahari memancarkan sinar terang benderang dan energi tiada henti. Segalanya diterangi, diberinya sinar cahaya tanpa pandang bulu. Sebagaimana matahari, seorang pemimpin harus mampu memberikan menjadi sumber pencerahan kepada semua yang dipimpin tanpa melihat golongan, kelompok, agama dan sebagainya. Bertindak dengan hati-hati  seperti jalannya matahari yang tidak tergesa-gesa namun pasti sampai tujuan.  
2.      Bulan.
Sebagai planet pengiring matahari bulan bersinar dikala gelap malam tiba, memberikan suasana tenteram, teduh dan keindahan. Sebagaimana bulan, seorang pemimpin hendaknya rendah hati, berbudi luhur serta menebarkan suasana tentram kepada rakyat dan indah di mata yang dipimpin.
3.      Bintang.
Nun jauh menghiasi langit dimalam hari, menjadi penentu arah dalam ilmu perbintangan. Seorang pemimpin harus bisa menjadi pengarah dan panutan dari segi kesusilaan, budaya dan tingkah laku serta mempunyai konsep berpikir yang jelas. Bercita-cita tinggi mencapai kemajuan bangsa, teguh, tidak mudah terombang-ambing, bertanggung jawab dan dapat dipercaya.
4.       Awan/Mendung.
Awan biasanya gelap seakan-akan menakutkan tetapi kalau sudah berubah menjadi hujan merupakan berkah serta sumber penghidupan bagi semua makhluk hidup. Seorang pemimpin harus berwibawa dan “menakutkan” bagi siapa saja yang berbuat salah dan melanggar peraturan. Namun di samping itu selalu berusaha memberikan kesejahteraan.
5.      Bumi.
Sentosa, suci, pemurah memberikan segala kebutuhan yang diperlukan makhluk yang hidup  di atasnya. Menjadi tumpuan bagi hidup dan pertumbuhan benih dari seluruh makhluk hidup.sebagaimana bumi, seorang pemimpin harus bersifat sentosa, suci hati, pemurah serta selalu berusaha memperjuangkan kehidupan rakyat yang tergambar dalam tutur kata, tindakan serta tingkah laku sehari-hari.
6.      Lautan.
Luas, tidak pernah menolak apapun yang datang memasukinya, menerima dan menjadi wadah apa saja. Sebagaimana lautan seorang pemimpin hendaknya luas hati dan mempunyai kesabaran yang tinggi. Tidak mudah tersinggung bila dikritik, tidak terlena oleh sanjungan dan mampu menampung segala aspirasi rakyat dari golongan maupun suku mana pun serta bersifat pemaaf.
7.      Api.
Bersifat panas membara, kalau disulut akan berkobar dan membakar apa saja tanpa pandang bulu, tetapi juga sangat diperlukan dalam kehidupan. Sebagaimana sifat api, seorang pemimpin harus berani menindak siapapun yang bersalah tanpa pilih kasih dengan berpijak kepada kebenaran dan keadilan.
8.      Angin.
Meskipun tidak tampak tetapi dapat dirasakan berhembus tanpa henti, merata ke seluruh penjuru dan tempat serta membawa kesegaran. Jadilah pemimpin seperti angin yang perilaku akhlaknya, karakternya dan moralnya menyebar ke mana-mana sehingga dapat memberikan dorongan semangat, kedamaian, dan kesegaran suasana bagi yang dipimpin.

Dengan memahami delapan watak alam tersebut, mereka yang mendapat amanah menduduki sebagai pemimpin formal atau diakui masyarakat sebagai pemimpin informal, hendaknya  dapat menerapkan dalam kepemimpinan sehingga yang dipimpin akan merasa tentram, senang dan terlindungi. Dengan hasta brata maka sifat pemimpin yang selama ini kurang baik hendaknya ditinggalkan seperti suka mencari kambing hitam (tak bertanggung jawab), ingkar janji, tidak ada komitmen terhadap yang diucapkan, tidak dapat dipercaya, kurang tegas, suka mengeluh, tidak bersemangat, bersikap tidak adil, dan sebagainya. 


Penutup
            Pemimpin yang berintegritas atau satunya kata dan perbuatan tidak dapat dilahirkan secara instan. Pemimpin yang berintegritas berarti mempunyai karakter. Karakter hanya dapat dibangun melalui proses pendidikan budi pekerti sejak dini baik di lingkungan keluarga, sekolah dan dalam organisasi di luar rumah. Pancasila sebagai sumber nilai karakter harus diajarkan sejak dini dalam diri anak. Proses pembelajaran karakter tidak saja melalui pembelajaran dan latihan, akan tetapi yang lebih penting adalah keteladanan dan pembiasaan perilaku yang mencerminkan karakter. 
            Menjadi pemimpin politik/pemerintahan dan masyarakat di Indonesia tidak sekedar berintegritas, akan tetapi harus memahami benar permasalahan  dan kondisi rakyat Indonesia yang majemuk dengan ciri mudah sekali terjadi gesekan dan konflik horizontal. Oleh karena itu, pemimpin bangsa Indonesia harus mampu menjaga keseimbangan interaksi antar kelompok, berfikir antisipatif dan preventif serta mampu berdiri di atas semua golongan agar kemajemukan bangsa dapat dikelola untuk kebaikan bangsa dan tetap terwujudnya NKRI. Untuk itu, dibutuhkan pemimpin yang berkarakter, yang berkomitmen dan beintegritas. Terimakasih.

                                                                                                Palembang, 25 Juli 2011.

Sumber Bacaan:

-          Alfian, M Alfan; Menjadi Pemimpin Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
-          Agung, AM Lilik; Human Capital Competencies; PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007.
-          Lumintang, Stevri Indra, Re-Indonesiaanisasi Bangsa, Departemen Multi media YPII, Batu-Jatim, 2009.
-          Rachman, Budhy Munawar; Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme; Grasindo, Jakarta, 2010.
-          Nugroho, Heru; Konstruksi SARA, Kemajemukan dan Demokrasi; Jurnal Ilmu Sosial UNISIA, No. 40/XXII/IV/1999.
-          Muhammad, Ahsin Sakho; Ensiklopedi Al-Quran Tematis; PT Kharisma Ilmu, Jakarta, Cet.ke-2, 2006. 

           



[1] Disampaikan dalam acara Pendidikan Politik yang diselenggarakan oleh Badan Kesbangpol dan Linmas Kab.Musi Rawas Sumsel, tgl 26 Juli 2011 di Lubuklinggau.