Wednesday, July 27, 2011


 ANARKIS, RADIKALIS  dan ANAK MUDA
Oleh: Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

                Bom  bunuh diri  kembali mengguncang ibu pertiwi. Masjid Adz-Dzikro, kompleks Malporesta Cirebon, pada tanggal  15 April 20 11 menjadi tempat  untuk “berjihad”  Muhammad  Syarif Astanagarif (32 tahun). Hanya pelakunya,   bomber M Syarif,  yang langsung mampus dihajar bom yang dililitkan ditubuhnya.  Tampaknya  M  Syarif berkeinginan   mati “sahid” dengan  sejumlah polisi khususnya Kepala Polresta Cirebon.    
Kendatipun sasaran polisi tidak ada yang meninggal, tetapi serangan M Syarif  dan kelompoknya dapat dibilang sukses karena mampu menyerang polisi  simbol  penghalang gerakan-gerakan kelompok teroris dan dapat kembali menebar ketakutan di masyarakat.  M Syarif  sendiri  tentunya merasa sukses karena dapat  mati  “sahid” melalui “jihad” sesuai keyakinan dan perjuangannya. Gerakan teroris  yang semakin menggila di Indonesia menjadikan masyarakat merasa tidak aman di tempat-tempat umum sekalipun di tempat ibadah. Bahkan bom sudah masuk rumah melalui kiriman paket bom buku yang salah satunya meledak  di tangan polisi yang berusaha menjinakkannya.
Bom Cirebon  mengingatkan peristiwa bom-bom bunuh diri  dan pelaku pengeboman sebelumnya. Para bomber atau pelaku pengeboman  atau yang masuk kelompok penganut radikalisme dengan aksi-aksi teror dan kekerasan  pada umumnya dilakukan oleh generasi muda di bawah 40 tahun. Bahkan masih remaja  sudah sangat berani menjadi bomber bunuh diri  seperti yang dilakukan oleh   Dani Dwi Permana yang baru berumur 18 tahun ketika menjadi bomber di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton  tanggal 17 Juni 2009.   Teroris  pelaku bom Bali  I tahun 2002 seperti Imam Samudra waktu itu berumur 30 tahun,  Amrozi berumur 38 tahun, gembong teroris Noordin M Top waktu itu umur 34 tahun. Pelaku-pelaku lain seperti Misno berumur 30 tahun, bomber Bali II  tahun 2005 yakni Ayib Hidayat berumur 25 tahun. Pendek kata, para teroris yang umumnya penganut aliran atau berideologi radikal atau ekstrim  pada umumnya anak-anak muda.  
Selain anak muda menjadi teroris yang berideologi  radikal, pelaku-pelaku tindak anarkis lainnya, perkelaian umumnya terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa,  dan bentrok antar kelompok yang sering muncul dalam berita media massa televisi tampak sebagian besar pelakunya anak-anak muda. Bentrok antar supporter sepak bola umumnya anak-anak muda.  Memang anak-anak muda yang menjadi teroris atau bomber seperti M Syarif  dan Dani jumlahnya relatif sedikit dibandingkan populasi anak-anak muda  yang ada. Akan tetapi, jumlah yang sedikit  tersebut sangat berbahaya karena berhaluan keras dan militan. Mereka akan bertindak dengan  menggunakan segala cara dan berani melawan norma-norma yang ada demi untuk mencapai tujuannya.   Pemerintah dan aparat keamanan dibikin repot oleh ulah kelompok radikal ini. Masyarakat menjadi tidak tenang, kedamaian, persatuan dan kesatuan   terancam.
Melihat fakta bahwa umumnya para radikali-teroris dan pelaku anarkis lainnya dilakukan oleh kaum muda,  serentetan pertanyaan dapat dilontarkan. Mengapa di era demokrasi gerakan radikalisme tumbuh subur dan tindak anarkis kaum muda terjadi di mana-mana?.  Bagaimana peran pemerintah, pemimpin agama, pendidik dan  orang tua dalam memberikan pendidikan dan membekali generasi muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia yang berdasar Pancasila?.  Mampukah Pancasila  menjawab kegelisahan dan kekosongan keyakinan anak-anak muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara yang pluralistik ini?.
Kegagalan Pemerintah
                Memasuki era demokrasi mulai  tahun 1998, bangsa ini seperti  bebas dari belenggu penjajah.  Masyarakat menghirupkan kebebasan yang tak terhingga. Rakyat bebas melakukan ekspresi diri dan kelompok melalui berbagai cara dan dalam berbagai bentuk. Euforia kebebasan benar-benar dinikmati dan dijalankan oleh semua rakyat. Akhirnya, di tataran masyarakat,  kebebasan menjadi sulit terkendali.  Pancasila dilupakan, ideologi lain bebas masuk dan dipelajari  oleh anak-anak muda tanpa kontrol penguasa. Masyarakat mudah sekali melakukan unjuk rasa yang sering diikuti tindak anarkis. Konflik berbau SARA terjadi di berbagai daerah seperti di Maluku, Poso, Pontianak, Papua, Aceh. Negara sepertinya tidak dianggap lagi. Rasa kebangsaan sepertinya sudah terhapus dari dada rakyat.
 Di tataran pemerintahan, semua produk dan kebijakan orde baru yang dinilai tidak  mempunyai semangat reformasi dan demokrasi dianggap tidak baik, kuno “jadul”, dan semua itu harus ditinggalkan dan diganti tatanan yang baru.   Pejabat alergi bicara Pancasila.  BP7 yang bertanggung jawab  atas pelaksanaan pendidikan politik dengan label Penataran P-4 dibubarkan. Masyarakat, anak-anak sekolah dan mahasiswa tidak mendapat pendidikan politik melalui Penataran P-4 di awal-awal masuk sekolah/kuliah. “Cuci otak” dengan ideologi Pancasila tak ada lagi.  Mereka dibiarkan hidup tanpa pegangan dan pedoman yang jelas dalam berbangsa dan bernegara. Di sisi lain,  ada aliran arus deras ideologi lain masuk memenuhi ruang-ruang kebebasan dan dapat mengisi kekosongan dan kehausan anak-anak muda tentang pegangan hidup baru  di luar Pancasila yang tersingkirkan.  Islam radikal, sosialisme kiri  dan  liberalisme menjadi santapan baru anak-anak muda yang semakin kritis. Sedangkan di sisi lain pemerintah tidak menyiapkan perangkat dan sistem atau   model pendidikan politik bagi masyarakat dan generasi muda untuk pengganti P-4.   Akibatnya, ideologi radikal tumbuh subur. Gagasan  dan kehendak lama  kelompok Islam radikal ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII)  tumbuh kembali karena pemerintah melakukan pembiaran dan permisif terhadap menjamurnya gerakan radikal yang berbasis ideologi yang berhaluan keras.     
Gerakan NII masih eksis dan secara diam-diam telah menjalar ke mana-mana dengan  wujud organisasi yang berbeda beda. Ada Jamah Islamiyah, Komando Jihad, dan lain-lain. Sasaran perekrutan anggota kelompok radikal ini adalah  kaum muda yang mental ideologinya kosong atau lemah tentang Pancasila dan NKRI.  Metode perekrutan melalui rayuan dan diskusi yang secara tidak sadar  ditanamkan rasa  kebencian terhadap NKRI dan Pancasila serta memutarbalikkan fakta dan ajaran agama. Kasus terbaru, hilangnya 9 mahasiswa di Malang  akhirnya terkuak  karena diculik oleh kelompok orang  yang diduga dari kelompok dan  jaringan NII. Para mahasiswa  tersebut dicuci otaknya dari kotoran ajaran agama dan kenegaraan yang menurut penculik tidak benar kemudian otak para mahasiswa tersebut diisi dengan ajaran-ajaran yang membenarkan NII dan menanamkan kebencian dan permuisuhan terhadap keluarga , orang tua,  NKRI dan Pancasila.
Anak muda remaja merupakan sosok yang belum mempunyai jati diri dan identitas diri yang jelas. Mereka kelompok yang sedang berburu identitas  melalui berbagai pembelajaran dan peniruan. Semangat belajar dan rasa ingin tahu sangat tinggi. Segala sesuatu yang baru ingin dicobanya. Emosinya masih sangat labil. Gambang  sekali mengikuti arus yang berkembang di kelompoknya.  Kondisi seperti ini mudah sekali dimasuki ajaran-ajaran yang menyesatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawa. Itulah sebabnya, para teroris dan kaum radikal mencari dan berburu anak-anak muda yang penghayatan agamanya masih lemah dan mental ideologi berbangsa dan bernegara belum mantap.
Kondisi anak muda yang mudah jatuh dalam gerakan radikalisme dan akrkisme dikarenakan pemerintah melakukan pembiaran akan pendidikan politik. Pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan yang dapat menyelamatkan anak-anak muda dari pengaruh radikalisme yang melanda Indonesia pada awal-awal kebangkitan demokrasi. Kekosongan ideologi akibat sikap menghindari Pancasila dan meniadakan P-4 sama saja memberikan kesempatan luas masuknya dan tumbuhnya ideologi lain. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri sehingga lupa menyelematkan anak-anak bangsa dari pengaruh dan ajaran ideologi radikal. 
 Karena tiadanya kebijakan dalam pendidikan politik yang jelas, maka para pemimpin umat beragama pun tidak ada mempunyai pedoman yang dijadikan tuntunan dalam berdakwa yang sejuk, damai, dan mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam  kebhinekaan bangsa. Selain itu, penegakan hukum oleh pemerintah juga lemah terhadap pelaku anarkis dan radikalis. Partai politik  pun setali tiga uang, sama saja, sibuk dengan kepentinganya sendiri, hanya ramai berebut dan bagi-bagi kekuasaan.   Parpol belum dapat melaksanakan pendidikan politik untuk rakyat khususnya kaum muda yang mestinya menjadi tugas dan kewajibannya dalam menjalankan salah satu fungsi politiknya. Ormas kepemudaaan dan organisasi kemahasiswaan kurang ada kontrol dan pembinaan dalam melaksanakan aktivitasnya seolah-olah mereka sudah manusia yang matang, padahal mereka anak-anak muda yang sedang dalam proses belajar yang perlu pengawasan dan pengarahan.   Tampaknya demokrasi telah disalahgunakan dan dimanfaatkan oleh kaum radikalis untuk menebarkan ideologinya di kalangan kaum muda.
Jalan Keluar
                Agar kondisi ini tidak semakin berlarut-larut dan gerakan radikalisme dan anarkisme tidak semakin tumbuh subur di kalangan kaum muda, maka pemerintah secepatnya harus mengambil sikap dan kebijakan. Pertama, perlu dipikirkan adanya lembaga semacam BP7 yang secara khusus mengelola pelaksanaan civic education atau pendidikan politik bagi rakyat dengan penekanan kurikulum pada pembentukan watak sebagai orang Indonesia yang mengakui dan menghormati kehidupan yang multikultural atau kebhinekaan.
Kedua, perlu dibentuk lembaga khusus atau memberikan wewenang dan fasilitas  kepada ormas agama untuk mendidik,  membina dan mengawasi kaum muda yang tersesat atau korban dari ajaran ideologi radikal. Hal ini untuk memutus mata rantai ajaran yang mungkin akan muncul kembali bila tidak dilakukan pembinaan dan pengawasa.
Ketiga, pemerintah harus menfasilitasi para pemimpin agama untuk secara teratur dan berkesinambungan melakukan up dating wawasan tentang Pancasila dan negara kebangsaan NKRI serta kebijakan-kebijakan aktual yang berkaitan dengan upaya  terus menerus mewujudkan kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa.  Dengan tambahan bekal wawasan yang selalu baru diharapkan para pemimpin agama / ulama dapat menyampaikan dakwah  kepada umatnya hal-hal yang sejuk.
Keempat, kembali dihidupkan pembekalan (seperti P-4) tentang Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI kepada anak didik pada awal masuk jenjang sekolah dan kuliah.  Kegiatan orientasi sekolah harus ada materi pembekalan ideologi Pancasila dan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Untuk di perguruan tinggi, perlu dipikirkan ulang agar Ideologi  Pancasila  menjadi mata kuliah wajib yang berdiri sendiri dengan  beban sks minimal 3 (tiga), bukan seperti sekarang ini hanya bagian dari mata kuliah kewarganegaraan yang hanya 2 sks.  Mempelajari ideologi Pancasila tidak sekedar hafal sila-sila Pancasila dan tahu maknaya, tetapi lebih dari itu yakni faham dan menghayati kandungan filosisnya yang berakar dari warisan budaya bangsa.     Diharapkan dengan memberikan pendidikan Ideologi Pancasila yang memadai dan mendasar  akan mampu membentengi  anak-anak muda  dari ideologi radikal.
Kelima, orang tua harus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam berkomunikasi dengan anak sehingga kalau ada hal-hal yang dirasa aneh atau di luar kebiasaan dalam bersikap dan berfikir dari diri si anak, maka orang tua dapat cepat mengerti untuk kemudian segera dapat diambil tindakan. Anak-anak muda yang tersesat  dalam bertindak pada umumnya dialami dalam keluarga yang komunikasinya antara anak dan orang tua kurang harmonis.  Kemajuan teknologi informasi juga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas komunikasi dalam  keluarga. Orang tua dan anak mungkin dekat secara fisik, tetapi  masing-masing sibuk dengan HP-nya  menjalain komunikasi dengan jaringan  dan kelompoknya sendiri-sendiri.
Dan keenam, masyarakat hendaknya waspada dan kritis terhadap  kelompok-kelompok pengikut agama yang eksklusif, tertutup dan terkesan menjauhi kehidupan sosial yang normal. Tindakan yang aneh dari lingkungan sekitar atau menyendiri biasanya ada sesuatu yang dirahasiakan. Selain itu, masyarakat juga harus kritis dan waspada terhadap isi ceramah agama yang disampaikan oleh uztads atau pemimpin agama lainnya yang sering atau bahkan terus menerus menanamkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah, negara atau agama lain. Isi ceramah dan pengajian yang bernada provokatif  merupakan awal atau bibit cikal bakal tumbuhnya  sikap dan pemikiran radikalisme dalam masyarakat.
Marilah udara demokrasi patut disyukuri sebagai berkah untuk mengembangkan potensi diri dan kelompok demi untuk kesejahteraan, kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa dalam bingkai Negara Kebangsaan NKRI yang berdasar Pancasila.

                                                                                                                                Palembang, 21 April 2011

No comments:

Post a Comment