Thursday, August 11, 2011


GERAKAN PILKADA MURAH dan BERSIH
Oleh : Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

                Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) secara langsung pertama kali dilaksanakan mulai tahun 2005. Memasuki  tahun  2010 sudah dilaksanakan pilkada untuk yang kedua kalinya. Dari pengalaman sejumlah daerah yang sudah dua kali pilkada langsung, ada sisi kelebihannya dan kelemahannya.  Sisi kelebihannya antara lain: hak memilih rakyat sebagai wujud rakyat berdaulat  mendapat tempat terhormat untuk memilih langsung pimpinannya, bila memang memenuhi persyaratan maka hak dipilih rakyat dapat tersalurkan dengan maju sebagai calon kepala daerah baik melalui parpol atau melalui  jalur independen (tanpa parpol),  memacu  dan mendorong pendidikan politik  rakyat khususnya dalam menyiapkan kader-kader calon pemimpin daerah, jika pemilih cerdas memahami demokrasi yang benar maka akan terpilih pemimpin daerah yang amanah,  aspiratif dan berorientasi kepada kepentingan rakyat, dan diharapkan pilkada langsung dapat menghilangkan praktek politik uang sebagaimana  ketika dipilih oleh DPRD.   

Selain sisi kelebihannya, ternyata pilkada langsung membawa implikasi buruk yang dapat dikatakan sebagai sisi kelemahannya.   Implikasi buruk yang dimaksud antara lain: biaya pilkada yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin luar biasa besarnya, calon kepala daerah juga sangat banyak mengeluarkan dana untuk ongkos politik dan politik uang. Kegiatan atau pos-pos  yang harus diongkosi dan ditanggung bakal calon atau ketika sudah menjadi calon kepala daerah antara lain:  bakal calon yang akan melalui parpol harus membayar kepada parpol agar mau mengusung dirinya sebagai bakal calon. Semakin besar parpol semakin besar  ongkos “sewa perahu”.  Besarnya ongkos “sewa perahu” tidak sekedar  puluhan juta tetapi sudah sampai ratusan juta rupiah bahkan tembus angka milyaran rupiah. Bagi calon independen, harus mengeluarkan ongkos politik untuk mencari dukungan sejumlah pemilih sesuai ambang batas yang ditentukan undang-undang. Ongkos dikeluarkan untuk biaya operasional dan biaya foto copy KTP  serta  biaya ucapan terimakasih/cendera mata karena sudah bersedia mendukungnya.   

Biaya politik lain yang cukup besar  pengeluarannya adalah sarana dan media  untuk sosialisasi diri dan kampanye baik  berupa berbagai barang cetakan, cendera mata, kegiatan sosial, pertemuan dan rapat umum,  ataupun iklan melalui media massa cetak dan elektronik.  Dan yang tak kalah penting dan hal ini dianggap menentukan pada detik-detik terakhir hari H adalah dana segar untuk “serangan fajar” atau politik uang menjelang pemungutan suara yang dikemas dengan berbagai dalih seperti uang makan, bantuan transport, dan sebagainya. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengatakan bahwa biaya politik untuk menang sebagai kepala daerah memang tidak sedikit. Nilainya sekitar Rp60-100 milyar.  Padahal, gaji gubernur sekelas Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang paling tinggi pun hanya sebesar Rp 90 juta per bulan. Jika dikali masa jabatan, maka jumlah penghasilannya secara keseluruhan hanya sekitar Rp 6 milyar. Gaji penuhnya pun tak akan bisa memenuhi biaya kampanye yang sudah dikeluarkan (Kompas, 17 Januarii 2011).

Ongkos politik yang sangat besar tersebut  umumnya hanya  dimiliki oleh konglomerat atau pengusaha kakap. Jika calon tidak cukup uang tetapi bernafsu besar,  maka segala cara akan ditempuh seperti  pinjam atau hutang atau menjual harta yang dimiliki seperti tanah, rumah, logam mulia, mobil, dan sebagainya. Atau mungkin akan ditalangi dulu oleh para pengusaha, nanti  gantinya jika sudah menjadi kepala daerah akan diberi  proyek-proyek, maka yang terjadi adalah perilaku kolusi dan korupsi. Kepala daerah untuk mengembalikan dana  pilkada tidak ada jalan lain kecuali dengan mark up proyek atau manipulasi proyek. Kondisi seperti itulah yang diduga kuat banyak kepala daerah tersangkut korupsi.  Surat kabar  Kompas (20 Juni 2011) menyebutkan bahwa Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang 2004 – 2011 sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri dari gubernur, bupati, dan walikota tersangkut korupsi.  Jadi, dana APBD yang mestinya untuk pembangunan dan kepentingan rakyat akhirnya ditilep kepala daerah. Rakyat dikorbankan dan sangat dirugikan.

Kementerian Dalam Negeri  pada hari otonopmi daerah tanggal 25 April 2011 mengumumkan hasil evaluasi   pelaksanaan otonomi daerah terhadap  33 provinsi, 399 kabupaten dan 98  kota, di dapat hasil yakni:  3 provinsi  masuk kategori nilai tinggi, 4 provinsi bernilai sedang, dan sisanya bernilai rendah. Kabupaten yang bernilai tinggi hanya 10 kabupaten, selebihnya kategori sedang dan rendah. Demikian juga Kota, hanya 10 kota yang bernilai tinggi, sisanya sedang dan rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mayoritas daerah belum berkinerja baik. Berdasarkan teori  dalam administrasi negara, bahwa salah satu faktor utama penentu keberhasilan  suatu organisasi  dalam mencapai tujuan adalah faktor kepemimpinan.  Jadi, jika sebagian besar daerah masih belum mampu menunjukkan kinerja yang baik dalam  mewujudkan kesejahteraan masyarakat  kuncinya terletak kepada leadership kepala daerah. Kondisi tersebut perlu dikaji lebih mendalam untuk dikaitkan dengan pilkada langsung yang sarat dengan politik uang. Ada dugaan bahwa calon yang memenangkan pilkada  bukan yang cerdas  secara intelektual, emosional dan spiritual tetapi yang banyak berani menghabiskan uang. Dengan demikian,  sangat masuk akal setelah duduk menjadi kepala daerah tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai kepala daerah dengan baik karena kapasitasnya rendah  dan pikirannya juga tersandera untuk mencari uang mengembalikan ongkos politik  yang sangat besar selama kompetisi pilkada berlangsung.  

Pilkada langsung yang sudah bersifat tranksasional  materi dan  mengabaikan nilai-nilai  moralitas antara calon, parpol dan rakyat  sungguh sudah sangat tidak sehat, sangat mencederai demokrasi, merusak tatanan sistem politik yang elegan,  dan sangat merugikan  rakyat. Rakyat secara tidak langsung dididik  untuk bermental minta-minta dan munafik.  Ungkapan sebagian  masyarakat yang menyatakan bahwa “setiap pemberian oleh  calon siapa pun akan diterima dan setiap calon akan diminta jika tidak memberi, tetapi mengenai siapa yang akan dipilih itu rahasia pribadi masing-masing”, sungguh  sudah menunjukkan sikap yang bermoral rendah dan tak bertanggung jawab,  hanya ingin enaknya sendiri.  

Pilkada oleh sebagian masyarakat   benar-benar telah dijadikan ajang untuk  menguras kantong para calon demi keuntungan pribadi dan kelompok.  Keadaan ini diperparah hadirnya orang-orang yang mengaku  tim kampanye dari pasangan calon tetapi sebenarnya tidak ada bedanya dengan makelar politik. Para makelar politik ini sangat dan licik diuntungkan secara finansial.    Calon kepala daerah jika dimintai uang atau diminta membiayai atau membangun ini-itu juga tidak bisa menolak karena khawatir tidak akan dipilih. Para calon kepala daerah sebenarnya dibuat pusing oleh perilaku masyarakat dan parpol yang memanfaatkan dirinya (hanya mau uangnya) tetapi tidak ada jaminan terpilih. Jika calon tidak memenuhi permintaan atau tidak memberi sesuatu kepada masyarakat  atau parpol pendukung/pengusung sangat takut tidak mendapat suara, tetapi jika memberi  atau memenuhi permintaan maka biaya yang dikeluarkan semakin besar. Akibatnya, calon kepala daerah harus jatuh bangun cari uang dengan berbagai cara. Yang tambah menyakitkan lagi dan selalu membuat dag dig dug adalah sudah hancur-hancuran dan habis-habisan mengeluarkan uang tak terhingga ternyata tidak ada  jaminan  atau kepastian bakal terpilih karena rakyat bebas menentukan pilihannya.

Dalam teori demokrasi memang dikatakan bahwa demokrasi akan berjalan baik di masyarakat atau negara yang tingkat  kesejahteraan ekonominya relatif sudah cukup baik. Manakala sebagian besar rakyat masih sibuk sekedar untuk urusan perut dan kebutuhan dasar lainnya belum terpenuhi dengan baik, maka demokrasi hanya sebatas perut. Idealisme dan integritas rakyat yang sedang lapar sangat mudah dikalahkan hanya dengan nasi bungkus sehingga pilkada dapat dikatakan demokrasi nasi bungkus.

Situasi pilkada yang menyadera calon dan tidak  mendidik  berdemokrasi yang  elegan bagi rakyat seperti ini  harus segera dicari jalan keluarnya sehingga pilkada benar-benar merupakan ajang bermoral untuk menentukan kepala daerah yang amanah, cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual.

Upaya yang Ditempuh

                Beberapa upaya dapat ditempuh untuk meluruskan pilkada   agar pilkada menjadi ritual politik  yang benar-benar demokratis, kompetitif, fair, damai, akuntabel, murah, bersih  dan  efisien, yakni:

 Pertama, regulasi tentang pilkada harus ditata ulang khususnya yang berkaitan dengan proses rekrutmen bakal calon dan kampanye. Bagi parpol yang akan mengusung bakal calon harus bertanggung jawab mengenai ongkos politik. Bukan seperti sekarang justru bakal calon yang harus mengeluarkan biaya untuk menanggung semua ongkos politik. Akibatnya, siapa saja asal mempunyai uang berlimpah, kendati kapasitas minim, akan dapat maju sebagai bakal calon kepala daerah. Sebaliknya, orang- orang yang  dinilai mempunyai kapasitas tetapi tidak mempunyai uang akan kehilangan kesempatan maju sebagai bakal calon kepala daerah.  Dengan demikian, jika aturan mengatakan bahwa parpol  yang wajib menanggung seluruh  ongkos politik selama berlangsung pilkada, maka parpol akan selektif  dalam mengusung bakal calon kepala daerah,  dan dalam internal parpol akan berlangsung kaderisasi yang terencana untuk dapat menelorkan calon-calon kepala daerah yang berkualitas.

Hal lain yang perlu di tata ulang adalah  regulasi kampanye khususnya mengenai bentuk-bentuk kampanye dan tempat untuk memasang alat peraga. Pengalaman selama ini kurang ada pengaturan yang rinci tentang kampanye, misalnya tentang  ukuran dan jumlah baliho yang dipasang serta tempat pemasangan. Calon yang mempunyai uang banyak  akan dapat membuat baliho sebanyak mungkin dan dipasang di mana saja. Sedangkan calon yang sedikit uang hanya akan membuat atribut sekedarnya saja dan di tempat yang terbatas. Jelas ini kompetisi yang tidak adil dan tidak fair.

Selama ini  di tempat-tempat umum yang dianggap strategis seperti tiang listrik, tiang telpon, pohon, tembok, pagar jembatan, pagar rumah dan lain-lain menjadi sasaran untuk penempelan atribut calon.  Kondisi semrawut seperti ini merusak keindahan dan merusak/menyakiti pohon misalnya  pohon harus dipaku dan sebagainya. Untuk menata pemasangan atribut kampanye dapat dibuat regulasi misalnya  cukup beberapa titik saja yang dijadikan tempat untuk menempatkan atribut  secara bersama-sama sehingga pemasangan atribut kampanye menjadi tertata rapi. Selain itu, bentuk kampanye rapat umum dengan mengundang artis terkenal harus dilarang dan diganti dengan model kampanye dialogis dalam ruang tertutup. Calon juga harus dilarang memberi bantuan sosial yang nilainya tidak terhingga. Pendeknya, regulasi kampanye harus berorientasi untuk menekan biaya agar menjadi semurah mungkin namun tidak menghilangkan makna dan hakekat kampanye yang berupa ajakan memilih dan menyebarkan visi misi calon. Dengan demikian, kampanye benar-banar akan berlangsung fair, adil, aman,  relative lebih murah dan kompetitif serta dapat mencerahkan wawasan masyarakat dalam berdemokrasi.
Kedua, berhubung masyarakat dalam memahami berdemokrasi melalui  pilkada langsung umumnya dipersepsikan seperti mendapat rejeki musiman, atau pilkada dimaknai bagi-bagi uang serta  bebas meminta apa saja kepada calon, sehingga ongkos politik menjadi mahal, dan ujungnya berdampak pada KKN yang merugikan rakyat, maka harus dilakukan tindakan dan gerakan pendidikan politik kepada masyarakat.  Pilkada yang dipersepsikan ibarat demokrasi sekedar nasi  bungkus harus diluruskan. Pihak-pihak yang peduli terhadap demokrasi yang sehat seperti ormas dan LSM, khususnya yang berkepentingan langsung terhadap pilkada seperti pemerintah, parpol dan penyelenggara pilkada,  hendaknya saling bekerja sama turun tangan memberikan penjelasan dan pemahaman tentang berdemokrasi  melalui pilkada yang benar, jujur dan adil.  Masyarakat harus dipahamkan  akan efek negatif pilkada dengan praktek kotor seperti politik uang yang nantinya justru  akan merugikan rakyat sendiri dan menggiring kepala daerah melakukan korupsi. Dalam diri pemilih harus  ditanamkan sikap berani menolak pemberian apa pun dari calon atau pihak-pihak yang ingin mempengaruhi pilihan dengan cara-cara memberi uang atau materi lainnya.  

Tantangannya adalah rendahnya kesejahteraan masyarakat. Sepanjang  kesejahteraan (ekonomi) rakyat belum sejahtera dalam arti untuk memenuhi kebutuhan pokok saja masih harus meminta bantuan orang lain, maka praktek politik  uang tidak mudah untuk dihapuskan tetapi hanya bisa ditekan. Politik uang hanya enak sesaat tetapi kemungkinan akan sengsara berkepanjangan jika kepala daerahnya menilep uang rakyat. Untuk itu, perlu dibuat aturan bahwa yang memberi dan menerima atau yang melakukan politik uang sama-sama kena sanksi hukum dan berdosa dari sisi agama.

Ketiga, pengalaman pilkada  selama ada calon incumbent, pada umumnya incumbent menang. Hal ini karena incumbent dapat memanfaatkan posisinya sebagai kepala daerah untuk membuat kebijakan dan memanfaatkan fasilitas yang bisa menguntungkan dirinya. Situasi ini memancing lawan politiknya untuk lebih banyak mengeluarkan biaya politik dalam upaya mencari simpati masyarakat. Akibatnya, ongkos politik menjadi bertambah mahal. Kondisi ini harus diatur bahwa incumbent harus mundur minimal 6 bulan sebelum hari H agar tidak memanfaatkan kesempatan sebagai kepala daerah untuk melakukan kampanye terselubung. Dengan demikian,  pilkada akan berlangsung adil, fair, murah, dan kompetitif.   Aturan ini pernah diberlakukan namun kemudian dicabut karena dalam pemilu presiden tidak berlaku maka dalam pilkada pun tidak berlaku.  Sungguh suatu pemikiran yang keliru, jabatan presiden hanya satu dan tidak dapat di-caretaker.

Selain regulasi-regulasi di atas, tentu masih banyak yang harus dibenahi untuk menekan agar ongkos pilkada yang dikeluarkan pemerintah dan calon atau parpol menjadi lebih murah, seperti pemilu serentak antara pilkada gubernur, bupati/walikota dan pemilu presiden.

Saat ini di Kabupaten MUBA sedang berproses pilkada yang sangat dipastikan para pasangan calon telah menghabiskan uang ratusan jutaan bahkan sudah  milyaran rupiah tetapi tidak ada jaminan bakal terpilih. Sungguh suatu  penantian yang menyiksa bagi pasangan calon. Semua sama-sama ngotot harus menang dan semakin ngotot maka akan semakin banyak uang yang harus dikeluarkan.  Resiko yang bakal ditanggung adalah yang kalah ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sudah sedih karena kalah masih harus kehilangan banyak uang dan jika uang yang dipakai hasil pinjaman maka akan menanggung hutang sendirian.  Parpol akan lepas tangan, tak ikut bertanggung jawab.
Bagi pihak yang menang, meskipun dapat tertawa, tetapi hati kecilnya akan sedih juga karena kemungkinan dalam perjalanan ke depan akan berdusta dengan rakyat, mengkhianati janji-janji kampanye, tersandera hatinya tidak dapat bebas menentukan kebijakan  untuk rakyat karena harus dituntut memenuhi kepentingan pengusaha atau dengan pihak-pihak lain yang telah memberikan pinjaman ongkos politik untuk memenangkan pilkada.  Akhirnya akan terjadi politik kartel yakni politik kolusi dan koalisi antara penguasa dan pengusaha. Dalam kondisi seperti ini, maka pengusaha akan mengendalikan  penguasa/kepala daerah demi kepentingan pengusaha. Proyek-proyek dikendalikan oleh pengusaha dan untuk pengusaha, rakyat hanya dijadikan tutup dan dalih keabsahan saja.
Untuk pilkada di daerah lain yang segera akan menyusul khususnya di wilayah Sumsel, marilah kita munculkan gerakan pilkada murah dan bersih agar calon pasangan yang terpilih menjadi  kepala daerah benar-benar yang mempunyai jiwa kepemimpinan  berorientasi kepada kepentingan rakyat khususnya rakyat yang terpinggirkan, berintegritas tinggi serta  tidak berperilaku korup. Mari kita cegah politik kartel yang merugikan rakyat dengan pilkada murah dan bersih dengan tanpa politik uang. Semoga.


                                                                                                Palembang, 11 Agustus 2011

No comments:

Post a Comment