Saturday, August 13, 2011


KAJIAN SINGKAT DRAFT RUU PERUBAHAN UU NO.10 TAHUN 2008
TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR,DPD, dan DPRD

Oleh:
Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

Pendahuluan
Bagi Negara yang menganut paham demokrasi maka ritual politik yang dinamakan pemilihan umum (Pemilu) merupakan suatu kewajiban  yang harus diupayakan dapat dilaksanakan sebaik mungkin. Dengan pemilu yang baik maka diharapkan dapat menghasilkan anggota legislatif dan top eksekutif  yang baik pula. Selain itu, tentu kredibilitas Negara yang bersamgkutan sebagai Negara demokrasi akan dipuji di mata dunia. Untuk penilaian terhadap keberlangsungan sebuah pemilu, terdapat 10 kriteria yang diakui secara internasional (CETRO, 2011), yaitu :
1.      Kebebasan berekspresi partai politik;
2.       Peliputan media yang berimbang mengenai peserta pemilu (partai politik dan calon anggota legislatif);
3.       Pemilih yang terdidik;
4.       KPU yang permanen dengan staf ad hoc yang memiliki kompetensi;
5.       Pelaksanaan pemungutan suara dengan damai;
6.       Masyarakat sipil terlibat dalam semua aspek proses pemilu;
7.       Proses penghitungan suara yang transparan;
8.       Hasil pemilu yang dapat diaudit;
9.       DPT yang akurat;
10.   Proses penyelesaian konflik berjalan dengan baik.

Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang sudah mempunyai komitmen sebagai Negara demokrasi selalu berusaha untuk nelaksanakan pemilu sebaik-baiknya. Pemilu selama pasca orde baru yakni tahun 1999, 2004 dan 2009 menunjukkan adanya perbaikan-perbaikan aturan main yang mengarah kepada upaya peningkatan kualitas pemilu. Misalnya, jika dalam asas Pemilu pada masa orde baru hanya dikenal asas langsung, umum, bebas dan rahasia, maka pemilu pasca orde baru ditambah jujur dan adil. Sistem pemilu yang semula hanya sistem proporsional daftar tertutup menjadi proporsional daftar terbuka. Jika pemilu 1999 hanya memilih tanda gambar parpol, maka pemilu   pemilu sesudahnya memilih gambar parpol dan atau nama calon. Jika pemilu 2004  yang dinyatakan memperoleh kursi berdasarkan nomor urut dari daftar nama calon, maka pada pemilu 2009 yang dinyatakan mendapat kursi yang memperoleh suara terbanyak. Perubahan-perubahan tersebut tentunya untuk mengakomodir aspirasi rakyat agar pemilu benar-benar dapat mencerminkan rasa keadilan dan kejujuran dalam mewujudkan hak-hak politik rakyat. Adanya perubahan-peruban aturan main dalam setiap pemilu membawa konsekuensi teknis administratif  yang semakin merepotkan dan menimbulkan permasalahan baru sehingga dapat menganggu kualitas pemilu secara keseluruhan.
Berdasarkan 10 kriteria tersebut di atas, menurut Adam Schmidt (2010)   bahwa untuk Pemilu 2009 hanya empat kriteria yang terpenuhi,  yakni kebebasan berekspresi partai politik, peliputan media yang berimbang mengenai peserta pemilu, pelaksanaan pemungutan suara dengan damai, dan proses penyelesaian konflik berjalan dengan baik. Untuk enam kriteria lain dinyatakan tidak terlaksana dan tidak terpenuhi.
Kajian CETRO tentang pelaksanaan Pemilu 2009  menyatakan bahwa rumitnya sistem Pemilu 2009 menimbulkan berbagai masalah  sebagai berikut:

1. Surat suara memuat terlalu banyak calon
Dengan alokasi kursi 3-10 di setiap dapil, jumlah parpol yang ikut sebanyak 38 (khusus di Aceh 44 parpol karena ada tambahan 6 parpol lokal), dan dengan dibolehkannya parpol mengajukan hinggal 120% orang calon dari jumlah kursi yang diperebutkan, surat suara Pemilu 2009 berisi terlalu banyak calon. Menurut catatan Cetro, jumlah calon tersebut berkisar 152-532 orang. Jumlah ini sudah tentu membuat kualitas pemilu patut dipertanyakan. Terlebih dari sisi pengenalan konstituen terhadap calon-calon yang diajukan.

2. Penghitungan suara lambat dan sulit
UU Pemilu menentukan bahwa pengumuman hasil pemilu secara nasional yang dilakukan oleh KPU paling lambat dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah hari pemungutan suara. Pada Pemilu 2009, pengumuman hasil pemilu dilakukan hingga tenggat hari terakhir. Pemungutan suara dilakukan pada tanggal 9 April 2009 dan pengumuman hasil pemilu dilakukan pada tanggal 9 Mei 2009. Itu pun yang diumumkan secara langsung oleh KPU hanyalah perolehan suara parpol untuk pemilihan anggota DPR dan perolehan suara calon anggota DPD. Pengumuman yang dilakukan pada tenggat waktu terakhir itu pun menyisakan persoalan karena ada dapil yang belum diketahui hasilnya.
Lambatnya penghitungan suara terjadi karena sistem yang diterapkan memang rumit. Penyelenggara pemilu tidak hanya menghitung perolehan suara parpol, melainkan juga perolehan masing-masing calon yang diajukan parpol mengingat perolehan suara tersebut akan menentukan siapa calon yang terpilih. Bila ada 142.532 calon di surat suara bisa dibayangkan betapa tidak mudahnya proses penghitungan suara. Belum lagi ditemukan kenyataan bahwa banyak terjadi kecurangan, terutama terkait dengan pencatatan dan rekapitulasi hasil perolehan suara masing-masing calon.

3. Penentuan perolehan kursi bermasalah
Bertahap-tahapnya penentuan perolehan kursi (hingga empat tahap) telah memunculkan persoalan. Bisa dikatakan hanya tahap satu yang tidak bermasalah, sedangkan tiga tahap lainnya harus melalui sengketa di MK dan MA. Untuk penghitungan tahap dua, calon-calon yang tidak puas dengan metode penghitungan suara KPU, yang tidak lain adalah terjemahan dari UU Pemilu, mengajukan pengujian peraturan KPU yang mengatur tentang penentuan perolehan kursi tahap dua. Permohonan tersebut dikabulkan MA, yang bila diterapkan akan memunculkan kekacauan dan ketidakadilan karena mengubah secara signifikan perolehan kursi masing-masing parpol yang telah diumumkan KPU. Untunglah putusan tersebut akhirnya dimentahkan‘ oleh putusan MK yang mengembalikan metode penghitungan kursi tahap dua sebagaimana dirumuskan dalam UU Pemilu.
Permasalahan juga terjadi pada penghitungan kursi tahap tiga dan tahap empat. Kali ini justru KPU yang menyimpang dari apa yang telah digariskan UU Pemilu. KPU beranggapan bahwa sisa suara yang diangkat ke level provinsi adalah hanya sisa suara dari dapil - dapil yang masih ada sisa kursinya. Keputusan KPU tersebut dipermasalahkan di MK, yang kemudian memutuskan bahwa sisa suara yang diangkat ke level provinsi adalah sisa suara dari semua dapil di suatu provinsi.

4. Penetapan calon terpilih bermasalah
Rumitnya sistem pemilu yang diterapkan juga berdampak pada penetapan calon terpilih, yaitu penetapan calon terpilih dari kursi tahap tiga dan tahap empat. KPU terbelah dalam menginterpretasikan ketentuan dalam UU Pemilu. Ada yang beranggapan bahwa kursi tahap tiga dan tahap empat diberikan kepada calon yang menyumbang sisa suara terbanyak. Ada pula yang beranggapan bahwa kursi diberikan kepada dapil yang menyumbang sisa suara terbanyak, setelah itu barulah ditentukan siapa calon yang memperoleh suara terbanyak di dapil tersebut. Akhirnya tafsir terakhirlah yang diterima.

5. Banyaknya sengketa hasil pemilu di MK
Pada Pemilu 2009 MK menerima hampir 700 kasus yang dibundel dalam 70 berkas perkara. Jumlah ini meningkat dibandingkan Pemilu 2004 yang ‘hanya‘ 273 kasus. Berdasarkan angka ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen pelaksanaan pemilu bukan bertambah baik, tetapi bertambah buruk karena sengketa justru lebih banyak. Tidak bisa dimungkiri banyaknya sengketa karena didorong oleh sistem pemilu yang diterapkan. Perbedaan satu suara saja bisa menyebabkan seseorang kehilangan kursi. Walaupun dalam kaitan dengan hal ini perlu pula dicatat bahwa ada kecenderungan calon menggunakan segala cara untuk mendapatkan kursi. Namun, sistem pemilu yang diterapkan telah ikut menyumbang atau memfasilitasi keinginan para calon tersebut.

            Kekurangan-kekurangan harus diupayakan untuk dibenahi sehingga pemilu berikutnya akan lebih bisa dipercaya dan akuntabel. Atas dasar kekurangan dan aspirasi masyarakat, maka UU No. 10 tahun 2008 perlu diadakan perubahan dan RUU pemilu 2014 saat ini tengah dalam proses pembahasan di DPR.  Akan tetapi dalam RUU Pemilu tersebut  tidak merubah sistem pemilu sebagai inti munculnya konsekuensi teknis administratif.  Sistem pemilu proporsional daftar terbuka  tampaknya tidak lagi dipermasalahkan. RUU Pemilu 2014 lebih menekankan kepada hal-hal teknis administratif dan perubahan yang  dianggap penting  yang hingga kini masih menjadi perdebatan, yakni tentang Parliamentary Threshold  (PT) atau nilai ambang batas perolehan suara parpol yang akan diperhitungkan dapat tidaknya kursi di DPR.  Ambang batas atau PT  yang diberlakukan terkandung maksud sebagai salah satu upaya  untuk melakukan penyederhanaan jumlah parpol. Bagi masyarakat  awam keberadaan parpol dinilai sudah terlalu  terlalu banyak  sehingga membingungkan. Dari konteks membangun sistem politik yang stabil juga sulit diwujudkan.

Usulan Perubahan dalam RUU Pemilu 
Pada  kesempatan ini  saya tidak akan melihat semua usulan perubahan  UU No. 10 tahun 2008 sebagaimana yang telah dituangkan dalam draft RUU Pemilu 2014, akan tetapi saya hanya akan menyoroti  hal-hal yang menurut saya penting untuk diberi ulasan,  yakni mengenai persyaratan parpol mengikuti pemilu dan hak pilih rakyat  dengan membandingkan dengan UU Pemilu yang pernah berlaku sebelumnya.
Parpol tidak mesti mengikuti pemilu. Akan tetapi jika parpol ingin  mengikuti pemilu harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam UU Pemilu. Jika diperhatikan dari pemilu ke pemilu (1999, 2004,2009) persyaratannya  semakin berat. Pada pemilu 1999 persyaratannya  masih relatif sangat ringan (lihat lampiran).sehingga  parpol peserta Pemilu 1999 mencapai 48 parpol.  Pada Pemilu 2004  persyaratan sudah diperberat, yakni  dengan menambah jumlah kepengurusan provinsi yang semula dari ½ menjai 2/3 dari jumlah provinsi yang ada Demikian juga jumlah kepengurusan kabupaten/kota  tidak lagi hanya ½ dari jumlah kabupaten kota yang ada di provinsi yang bersangkutan,  akan tetapi dirubah menjadi  2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.  Akibatnya, jumlah parpol peserta pemilu tahun 2004 hanya 24 parpol, bersusut 50% dari peserta pemilu tahun 1999. Persyaratan tersebut  dipertahankan sampai nanti Pemilu 2014. Ketentuan tersebut menuntut parpol untuk mempersiapkan secara sungguh-sungguh untuk menjadi peserta pemilu.
Mengenai jumlah keanggotaan parpol,  pada UU No. 3 /1999 tidak ada ketentuan. Tetapi pada UU Pemilu 12 tahun 2003  sudah diberlakukan ketentuan bahwa parpol yang akan menjadi peserta pemilu selain persyaratan kepengurusan, parpol harus mempunyai anggota sekurang-kurangnya 1.000 atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan di  2/3 kabupaten/kota  dalam provinsi yang bersangkutan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota (KTA).   Pada UU No. 10 Tahun 2008 ketentuan tersebut tidak hanya berlaku pada kepengurusan kabupaten tetapi berlaku juga di provinsi. Dalam usulan RUU Pemilu 2014 ketentuan keanggotaan di provinsi dihapus sehingga ketentuannya kembali seperti UU No. 12 Tahun 2003. Dengan adanya ketentuan ini, parpol harus kerja keras menjaring  dan merayu masyarakat untuk menjadi anggota parpol.  Ini semua untuk mendorong agar parpo9l bersungguh-sungguh dalam berpolitik. Jika tak sanggup memenuhi batas minimal anggota parpol, maka parpol akan gagal menjadi peserta pemilu.
Kantor atau sekretariat sangat penting sebagai sarana untuk mengelola parpol.  Untuk itu, parpol  dituntut harus mempunyai kantor yang tetap. Pada UU No. 3 Tahun 1999 tidak ada persyaratan harus memiliki kantor tetap, pada UU pemilu berikutnya ada ketentuan parpol harus mempunyai kantor tetap baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Pada RUU Pemilu 2014 ditambah keterangan mempunyai kantor tetap untuk jangka waktu 5 (lima) tahun pada semua jenjang kepengurusan di pusat, provinsi dan kabupaten. Usulan perubahan tentang hal ini tentu untuk memudahkan pihak-pihak tertentu yang berkepntingan atau masyarakat berhubungan dengan parpol yang bersangkutan sekaligus hal ini untuk melakukan seleksi alam dalam rangka penyederhanaan parpol.  Pengalaman Pemilu 2004 ketika melakukan verifikasi faktual terhadap parpol yang akan ikut pemilu di tingkat provinsi (Sumsel), ternyata parpol hanya menyediakan kantor sekedar memenuhi persyaratan kepentingan verifikasi saja. Setelah verifikasi dilakukan, banyak kantor parpol yang tidak jelas keberadaanya atau pindah tempat tanpa melaporkan ke KPU. Kondisi seperti ini dinilai tidak benar dan kurang dapat dipertanggungjawabkan baik secara administratif dan hukum.  UU berharap dengan ketentuan baru bahwa parpol harus mempunyai kantor tetap dalam jangka waktu lima tahun,  maka parpol akan mengelola dirinya secara sungguh-sungguh dan memudahkan dalam berkomunikasi dengan pihak yang berkepentingan.
Hal baru lainnya dari usulan perubahan RUU Pemilu 2014 yang berkaitan dengan persyaratan parpol menjadi peserta pemilu adalah  bahwa parpol harus menyerahkan rekening atas nama parpol dengan saldo minimal Rp.500 juta untuk tingkat pusat, Rp.100 juta untuk tingkat provinsi dan Rp.50 juta untuk tingkat kabupaten/kota. Aturan ini pada UU Pemilu sebelumnya tidak ada. Persyaratan ini juga mempunyai maksud untuk menguji keseriusan parpol mengikuti pemilu.    Dengan demikian,  tidak mudah bagi parpol untuk ikut pemilu.
Pada UU No. 3 tahun 1999 agar parpol dapat menjadi peserta pemilu berikutnya, ditentukan persyaratan  sekurang-kurangnya mendapat 2% dari kursi DPR atau 3% dari kursi DPRD Prov atau kabupaten/kota yang tersebar di ½ jumlah provinsi atau ½ jumlah kabupaten kota se Indonesia. Dalam UU Pemilu berikutnya (UU No. 12/2003 dan UU No.10 /2008), ketentuan tersebut dinaikkan persetasenya menjadi 3% dari kursi DPR dan 4 % dari jumlah kursi DPRD Provinsi atau  kabupaten/kota.   Sedangkan dalam draft RUU Pemilu 2014 dirumuskan bahwa parpol yang memenuhi ambang batas perolehan kursi di DPR ditetapkan sebagai peserta pemiku berikutnya. Nilai ambang batas sampai sekarang belum disepakati. Partai Golkar dan PDIP menginginkan 5%, Partai Demokrat 4%, PKS 3-4%, sedangkan partai lainnya yakni PPP, PAN, PKB, Hanura dan Gerindra pasang patok 2,5% seperti yang berlaku pada UU No.10 Th 2008 pasal 202 ayat 1.  Parliamantary Threshold (PT) adalah besaran ambang batas perolehan suara yang akan diikutkan dalam penentuan suara kurssi di DPR.
Parpol besar menginginkan ambang batas dinaikkan hingga 5%  dengan dalih untuk melakukan penyederhanaan jumlah parpol yang duduk di parlemen sehingga pemerintahan akan lebih efektif dan stabil. Sedangkan parpol kecil khawatir bakal tergusur dari kursi parlemen karena tidak bakal mampu berkompetisi dengan parpol besar. Selain itu, dengan angka PT sampai 5 % akan banyak suara yang hilang. Catatan CETRO,  jika yang digunakan PT 5% dan berpatok pada hasil pemilu 2009, maka  suara yang akan hilang atau tak terwakili sebesar 31,5% (lebih 32 juta suara).  Kalau PT 2,5%, suara yang hilang hanya 18,3% (lebih 19 juta suara). Kalau PT  4% suara yang hilang 22,1% (lebih 23 juta suara). Dilihat dari hak politik rakyat, semakin banyak suara yang hilang berarti mengabaikan suara rakyat yang telah dengan rela menggunakan hak pilih untuk berperan serta mewujudkan demokrasi ternyata tidak dianggap sama sekali atau terbuang sia-sia. Kondisi ini juga akan mengundang pertanyaan mengenai derajat keterwakilan ketika banyak suara yang dihilangkan sia-sia, apalagi sistem pemilu yang digunakan menganut sistem proporsional yang dianggap lebih menggambarkan keterwakilan dan keadilan.
Karena fraksi-fraksi belum sepakat mengenai PT, maka rumusan yang diusulkan oleh  Baleg DPR RI ada dua alternatif dengan mengambil jalan tengah. Alternatif pertama dengan usulan rumusan: parpol peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan suara kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Alternatif kedua dengan usulan rumusan: parpol peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5%-5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Kedua rumusan dengan kisaran angka tersebut bukan hasil kesepatakan politik di Baleg akan tetapi akan diserahkan pada rapat paripurna (http://www.dpr.go.id/id/berita/2011/juli/19/2969/baleg/sampaikan ruu pemilu ke paripurna).
PT di satu pihak dapat dijadikan upaya untuk membatasi jumlah parpol yang masuk ke Senayan (DPR) dalam rangka stabilitasi dan efektivitas kinerja sistem politik, akan tetapi di sisi lain akan terjadi  ketidakadilan baik bagi parpol kecil maupun suara rakyat yang hilang sia-sia.  Atas kontroversi tersebut, saya cenderung untuk dipertahankan seperti aturan semula yakni 2,5%. Rasa keadilan rakyat harus lebih diutamakan dan jika PT 5% belum tentu juga ada jaminan bahwa kinerja DPR akan lebih baik. Kemudian jika disimak usulan dari Baleg, PT juga akan berlaku untuk DPRD Provinsi dan kabupaten/Kota yang sebelumnya dengan dasar perhitungan perolehan suara nasional. Dengan dermikian, akan ada keseragaman parpol yang duduk di DPR dan di DPRD prov/kab/kota. Terhadap usulan ini, saya tidak setuju karena tidak adil. Kondisi perolehan suara daerah bisa berbeda-beda. Akan aneh jika di suatu daerah ada parpol yang suaranya sedikit justru akan mendapat kursi di dewan daripada yang suaranya lebih besar tetapi secara nasional tidak masuk dalam PT. Oleh karena itu, seandainya PT akan diberlakukan di daerah hendaknya dasar perhitungan suaranya perolehan total suara daerah (provinsi atau kabupaten/kota), bukan total suara nasional. Jadi, parpol yang duduk di kursi dewan di pusat dan daerah atau antar daerah kemungkinan tidak  akan sama.  
Tentang hak pilih rakyat, dalam RUU Pemilu mengatur kemudahan memilih jika tidak  tercantum dalam DPT, yakni dengan menggunakan KTP  disertai Kartu Keluarga dengan catatan hanya digunakan di tempat tinggalnya. Atau  jika sedang berada  di luar negeri dapat menggunakan passport. Adanya kemudahan ini membuktikan bahwa hak pilih rakyat sangat dihargai sehingga  dapat menumbuhkan gairah penggunaan hak pilih dan tidak akan menimbulkan keributan gara-gara DPT yang tidak beres. Hal ini bukan berarti carut marut tentang DPT dimaafkan, DPT  ke depan harus tetap dibenahi sehingga rakyat yang mempunyai hak pilih dapat masuk DPT.  
                                                              
Penutup
Sebenarnya banyak hal mengenai usulan  perubahan dalam RUU pemilu, tetapi umumnya tidak begitu menimbulkan permasalahan yang berarti karena lebih cenderung untuk membenahi teknis adminstratif agar lebih baik. Misalnya persyaratan memilih dengan KTP dan passport bila tidak masuk dalam DPT, jadwal waktu  pendaftaran parpol peserta pemilu paling lambat 2(dua) tahun sebelum hari pemungutan suara. Data kependudukan harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU oleh pemerintah/pemda paling lambat 24 bulan sebelum hari pemungutann suara.
Akhirnya, kita semua berharap agar wakil rakyat dapat segera menyelesaikan RUU Pemilu menjadi UU dengan tidak mencederai rasa keadilan politik rakyat.

                                                                        Palembang, 4 Agustus 2011.











Thursday, August 11, 2011


GERAKAN PILKADA MURAH dan BERSIH
Oleh : Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

                Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) secara langsung pertama kali dilaksanakan mulai tahun 2005. Memasuki  tahun  2010 sudah dilaksanakan pilkada untuk yang kedua kalinya. Dari pengalaman sejumlah daerah yang sudah dua kali pilkada langsung, ada sisi kelebihannya dan kelemahannya.  Sisi kelebihannya antara lain: hak memilih rakyat sebagai wujud rakyat berdaulat  mendapat tempat terhormat untuk memilih langsung pimpinannya, bila memang memenuhi persyaratan maka hak dipilih rakyat dapat tersalurkan dengan maju sebagai calon kepala daerah baik melalui parpol atau melalui  jalur independen (tanpa parpol),  memacu  dan mendorong pendidikan politik  rakyat khususnya dalam menyiapkan kader-kader calon pemimpin daerah, jika pemilih cerdas memahami demokrasi yang benar maka akan terpilih pemimpin daerah yang amanah,  aspiratif dan berorientasi kepada kepentingan rakyat, dan diharapkan pilkada langsung dapat menghilangkan praktek politik uang sebagaimana  ketika dipilih oleh DPRD.   

Selain sisi kelebihannya, ternyata pilkada langsung membawa implikasi buruk yang dapat dikatakan sebagai sisi kelemahannya.   Implikasi buruk yang dimaksud antara lain: biaya pilkada yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin luar biasa besarnya, calon kepala daerah juga sangat banyak mengeluarkan dana untuk ongkos politik dan politik uang. Kegiatan atau pos-pos  yang harus diongkosi dan ditanggung bakal calon atau ketika sudah menjadi calon kepala daerah antara lain:  bakal calon yang akan melalui parpol harus membayar kepada parpol agar mau mengusung dirinya sebagai bakal calon. Semakin besar parpol semakin besar  ongkos “sewa perahu”.  Besarnya ongkos “sewa perahu” tidak sekedar  puluhan juta tetapi sudah sampai ratusan juta rupiah bahkan tembus angka milyaran rupiah. Bagi calon independen, harus mengeluarkan ongkos politik untuk mencari dukungan sejumlah pemilih sesuai ambang batas yang ditentukan undang-undang. Ongkos dikeluarkan untuk biaya operasional dan biaya foto copy KTP  serta  biaya ucapan terimakasih/cendera mata karena sudah bersedia mendukungnya.   

Biaya politik lain yang cukup besar  pengeluarannya adalah sarana dan media  untuk sosialisasi diri dan kampanye baik  berupa berbagai barang cetakan, cendera mata, kegiatan sosial, pertemuan dan rapat umum,  ataupun iklan melalui media massa cetak dan elektronik.  Dan yang tak kalah penting dan hal ini dianggap menentukan pada detik-detik terakhir hari H adalah dana segar untuk “serangan fajar” atau politik uang menjelang pemungutan suara yang dikemas dengan berbagai dalih seperti uang makan, bantuan transport, dan sebagainya. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengatakan bahwa biaya politik untuk menang sebagai kepala daerah memang tidak sedikit. Nilainya sekitar Rp60-100 milyar.  Padahal, gaji gubernur sekelas Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang paling tinggi pun hanya sebesar Rp 90 juta per bulan. Jika dikali masa jabatan, maka jumlah penghasilannya secara keseluruhan hanya sekitar Rp 6 milyar. Gaji penuhnya pun tak akan bisa memenuhi biaya kampanye yang sudah dikeluarkan (Kompas, 17 Januarii 2011).

Ongkos politik yang sangat besar tersebut  umumnya hanya  dimiliki oleh konglomerat atau pengusaha kakap. Jika calon tidak cukup uang tetapi bernafsu besar,  maka segala cara akan ditempuh seperti  pinjam atau hutang atau menjual harta yang dimiliki seperti tanah, rumah, logam mulia, mobil, dan sebagainya. Atau mungkin akan ditalangi dulu oleh para pengusaha, nanti  gantinya jika sudah menjadi kepala daerah akan diberi  proyek-proyek, maka yang terjadi adalah perilaku kolusi dan korupsi. Kepala daerah untuk mengembalikan dana  pilkada tidak ada jalan lain kecuali dengan mark up proyek atau manipulasi proyek. Kondisi seperti itulah yang diduga kuat banyak kepala daerah tersangkut korupsi.  Surat kabar  Kompas (20 Juni 2011) menyebutkan bahwa Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang 2004 – 2011 sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri dari gubernur, bupati, dan walikota tersangkut korupsi.  Jadi, dana APBD yang mestinya untuk pembangunan dan kepentingan rakyat akhirnya ditilep kepala daerah. Rakyat dikorbankan dan sangat dirugikan.

Kementerian Dalam Negeri  pada hari otonopmi daerah tanggal 25 April 2011 mengumumkan hasil evaluasi   pelaksanaan otonomi daerah terhadap  33 provinsi, 399 kabupaten dan 98  kota, di dapat hasil yakni:  3 provinsi  masuk kategori nilai tinggi, 4 provinsi bernilai sedang, dan sisanya bernilai rendah. Kabupaten yang bernilai tinggi hanya 10 kabupaten, selebihnya kategori sedang dan rendah. Demikian juga Kota, hanya 10 kota yang bernilai tinggi, sisanya sedang dan rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mayoritas daerah belum berkinerja baik. Berdasarkan teori  dalam administrasi negara, bahwa salah satu faktor utama penentu keberhasilan  suatu organisasi  dalam mencapai tujuan adalah faktor kepemimpinan.  Jadi, jika sebagian besar daerah masih belum mampu menunjukkan kinerja yang baik dalam  mewujudkan kesejahteraan masyarakat  kuncinya terletak kepada leadership kepala daerah. Kondisi tersebut perlu dikaji lebih mendalam untuk dikaitkan dengan pilkada langsung yang sarat dengan politik uang. Ada dugaan bahwa calon yang memenangkan pilkada  bukan yang cerdas  secara intelektual, emosional dan spiritual tetapi yang banyak berani menghabiskan uang. Dengan demikian,  sangat masuk akal setelah duduk menjadi kepala daerah tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai kepala daerah dengan baik karena kapasitasnya rendah  dan pikirannya juga tersandera untuk mencari uang mengembalikan ongkos politik  yang sangat besar selama kompetisi pilkada berlangsung.  

Pilkada langsung yang sudah bersifat tranksasional  materi dan  mengabaikan nilai-nilai  moralitas antara calon, parpol dan rakyat  sungguh sudah sangat tidak sehat, sangat mencederai demokrasi, merusak tatanan sistem politik yang elegan,  dan sangat merugikan  rakyat. Rakyat secara tidak langsung dididik  untuk bermental minta-minta dan munafik.  Ungkapan sebagian  masyarakat yang menyatakan bahwa “setiap pemberian oleh  calon siapa pun akan diterima dan setiap calon akan diminta jika tidak memberi, tetapi mengenai siapa yang akan dipilih itu rahasia pribadi masing-masing”, sungguh  sudah menunjukkan sikap yang bermoral rendah dan tak bertanggung jawab,  hanya ingin enaknya sendiri.  

Pilkada oleh sebagian masyarakat   benar-benar telah dijadikan ajang untuk  menguras kantong para calon demi keuntungan pribadi dan kelompok.  Keadaan ini diperparah hadirnya orang-orang yang mengaku  tim kampanye dari pasangan calon tetapi sebenarnya tidak ada bedanya dengan makelar politik. Para makelar politik ini sangat dan licik diuntungkan secara finansial.    Calon kepala daerah jika dimintai uang atau diminta membiayai atau membangun ini-itu juga tidak bisa menolak karena khawatir tidak akan dipilih. Para calon kepala daerah sebenarnya dibuat pusing oleh perilaku masyarakat dan parpol yang memanfaatkan dirinya (hanya mau uangnya) tetapi tidak ada jaminan terpilih. Jika calon tidak memenuhi permintaan atau tidak memberi sesuatu kepada masyarakat  atau parpol pendukung/pengusung sangat takut tidak mendapat suara, tetapi jika memberi  atau memenuhi permintaan maka biaya yang dikeluarkan semakin besar. Akibatnya, calon kepala daerah harus jatuh bangun cari uang dengan berbagai cara. Yang tambah menyakitkan lagi dan selalu membuat dag dig dug adalah sudah hancur-hancuran dan habis-habisan mengeluarkan uang tak terhingga ternyata tidak ada  jaminan  atau kepastian bakal terpilih karena rakyat bebas menentukan pilihannya.

Dalam teori demokrasi memang dikatakan bahwa demokrasi akan berjalan baik di masyarakat atau negara yang tingkat  kesejahteraan ekonominya relatif sudah cukup baik. Manakala sebagian besar rakyat masih sibuk sekedar untuk urusan perut dan kebutuhan dasar lainnya belum terpenuhi dengan baik, maka demokrasi hanya sebatas perut. Idealisme dan integritas rakyat yang sedang lapar sangat mudah dikalahkan hanya dengan nasi bungkus sehingga pilkada dapat dikatakan demokrasi nasi bungkus.

Situasi pilkada yang menyadera calon dan tidak  mendidik  berdemokrasi yang  elegan bagi rakyat seperti ini  harus segera dicari jalan keluarnya sehingga pilkada benar-benar merupakan ajang bermoral untuk menentukan kepala daerah yang amanah, cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual.

Upaya yang Ditempuh

                Beberapa upaya dapat ditempuh untuk meluruskan pilkada   agar pilkada menjadi ritual politik  yang benar-benar demokratis, kompetitif, fair, damai, akuntabel, murah, bersih  dan  efisien, yakni:

 Pertama, regulasi tentang pilkada harus ditata ulang khususnya yang berkaitan dengan proses rekrutmen bakal calon dan kampanye. Bagi parpol yang akan mengusung bakal calon harus bertanggung jawab mengenai ongkos politik. Bukan seperti sekarang justru bakal calon yang harus mengeluarkan biaya untuk menanggung semua ongkos politik. Akibatnya, siapa saja asal mempunyai uang berlimpah, kendati kapasitas minim, akan dapat maju sebagai bakal calon kepala daerah. Sebaliknya, orang- orang yang  dinilai mempunyai kapasitas tetapi tidak mempunyai uang akan kehilangan kesempatan maju sebagai bakal calon kepala daerah.  Dengan demikian, jika aturan mengatakan bahwa parpol  yang wajib menanggung seluruh  ongkos politik selama berlangsung pilkada, maka parpol akan selektif  dalam mengusung bakal calon kepala daerah,  dan dalam internal parpol akan berlangsung kaderisasi yang terencana untuk dapat menelorkan calon-calon kepala daerah yang berkualitas.

Hal lain yang perlu di tata ulang adalah  regulasi kampanye khususnya mengenai bentuk-bentuk kampanye dan tempat untuk memasang alat peraga. Pengalaman selama ini kurang ada pengaturan yang rinci tentang kampanye, misalnya tentang  ukuran dan jumlah baliho yang dipasang serta tempat pemasangan. Calon yang mempunyai uang banyak  akan dapat membuat baliho sebanyak mungkin dan dipasang di mana saja. Sedangkan calon yang sedikit uang hanya akan membuat atribut sekedarnya saja dan di tempat yang terbatas. Jelas ini kompetisi yang tidak adil dan tidak fair.

Selama ini  di tempat-tempat umum yang dianggap strategis seperti tiang listrik, tiang telpon, pohon, tembok, pagar jembatan, pagar rumah dan lain-lain menjadi sasaran untuk penempelan atribut calon.  Kondisi semrawut seperti ini merusak keindahan dan merusak/menyakiti pohon misalnya  pohon harus dipaku dan sebagainya. Untuk menata pemasangan atribut kampanye dapat dibuat regulasi misalnya  cukup beberapa titik saja yang dijadikan tempat untuk menempatkan atribut  secara bersama-sama sehingga pemasangan atribut kampanye menjadi tertata rapi. Selain itu, bentuk kampanye rapat umum dengan mengundang artis terkenal harus dilarang dan diganti dengan model kampanye dialogis dalam ruang tertutup. Calon juga harus dilarang memberi bantuan sosial yang nilainya tidak terhingga. Pendeknya, regulasi kampanye harus berorientasi untuk menekan biaya agar menjadi semurah mungkin namun tidak menghilangkan makna dan hakekat kampanye yang berupa ajakan memilih dan menyebarkan visi misi calon. Dengan demikian, kampanye benar-banar akan berlangsung fair, adil, aman,  relative lebih murah dan kompetitif serta dapat mencerahkan wawasan masyarakat dalam berdemokrasi.
Kedua, berhubung masyarakat dalam memahami berdemokrasi melalui  pilkada langsung umumnya dipersepsikan seperti mendapat rejeki musiman, atau pilkada dimaknai bagi-bagi uang serta  bebas meminta apa saja kepada calon, sehingga ongkos politik menjadi mahal, dan ujungnya berdampak pada KKN yang merugikan rakyat, maka harus dilakukan tindakan dan gerakan pendidikan politik kepada masyarakat.  Pilkada yang dipersepsikan ibarat demokrasi sekedar nasi  bungkus harus diluruskan. Pihak-pihak yang peduli terhadap demokrasi yang sehat seperti ormas dan LSM, khususnya yang berkepentingan langsung terhadap pilkada seperti pemerintah, parpol dan penyelenggara pilkada,  hendaknya saling bekerja sama turun tangan memberikan penjelasan dan pemahaman tentang berdemokrasi  melalui pilkada yang benar, jujur dan adil.  Masyarakat harus dipahamkan  akan efek negatif pilkada dengan praktek kotor seperti politik uang yang nantinya justru  akan merugikan rakyat sendiri dan menggiring kepala daerah melakukan korupsi. Dalam diri pemilih harus  ditanamkan sikap berani menolak pemberian apa pun dari calon atau pihak-pihak yang ingin mempengaruhi pilihan dengan cara-cara memberi uang atau materi lainnya.  

Tantangannya adalah rendahnya kesejahteraan masyarakat. Sepanjang  kesejahteraan (ekonomi) rakyat belum sejahtera dalam arti untuk memenuhi kebutuhan pokok saja masih harus meminta bantuan orang lain, maka praktek politik  uang tidak mudah untuk dihapuskan tetapi hanya bisa ditekan. Politik uang hanya enak sesaat tetapi kemungkinan akan sengsara berkepanjangan jika kepala daerahnya menilep uang rakyat. Untuk itu, perlu dibuat aturan bahwa yang memberi dan menerima atau yang melakukan politik uang sama-sama kena sanksi hukum dan berdosa dari sisi agama.

Ketiga, pengalaman pilkada  selama ada calon incumbent, pada umumnya incumbent menang. Hal ini karena incumbent dapat memanfaatkan posisinya sebagai kepala daerah untuk membuat kebijakan dan memanfaatkan fasilitas yang bisa menguntungkan dirinya. Situasi ini memancing lawan politiknya untuk lebih banyak mengeluarkan biaya politik dalam upaya mencari simpati masyarakat. Akibatnya, ongkos politik menjadi bertambah mahal. Kondisi ini harus diatur bahwa incumbent harus mundur minimal 6 bulan sebelum hari H agar tidak memanfaatkan kesempatan sebagai kepala daerah untuk melakukan kampanye terselubung. Dengan demikian,  pilkada akan berlangsung adil, fair, murah, dan kompetitif.   Aturan ini pernah diberlakukan namun kemudian dicabut karena dalam pemilu presiden tidak berlaku maka dalam pilkada pun tidak berlaku.  Sungguh suatu pemikiran yang keliru, jabatan presiden hanya satu dan tidak dapat di-caretaker.

Selain regulasi-regulasi di atas, tentu masih banyak yang harus dibenahi untuk menekan agar ongkos pilkada yang dikeluarkan pemerintah dan calon atau parpol menjadi lebih murah, seperti pemilu serentak antara pilkada gubernur, bupati/walikota dan pemilu presiden.

Saat ini di Kabupaten MUBA sedang berproses pilkada yang sangat dipastikan para pasangan calon telah menghabiskan uang ratusan jutaan bahkan sudah  milyaran rupiah tetapi tidak ada jaminan bakal terpilih. Sungguh suatu  penantian yang menyiksa bagi pasangan calon. Semua sama-sama ngotot harus menang dan semakin ngotot maka akan semakin banyak uang yang harus dikeluarkan.  Resiko yang bakal ditanggung adalah yang kalah ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sudah sedih karena kalah masih harus kehilangan banyak uang dan jika uang yang dipakai hasil pinjaman maka akan menanggung hutang sendirian.  Parpol akan lepas tangan, tak ikut bertanggung jawab.
Bagi pihak yang menang, meskipun dapat tertawa, tetapi hati kecilnya akan sedih juga karena kemungkinan dalam perjalanan ke depan akan berdusta dengan rakyat, mengkhianati janji-janji kampanye, tersandera hatinya tidak dapat bebas menentukan kebijakan  untuk rakyat karena harus dituntut memenuhi kepentingan pengusaha atau dengan pihak-pihak lain yang telah memberikan pinjaman ongkos politik untuk memenangkan pilkada.  Akhirnya akan terjadi politik kartel yakni politik kolusi dan koalisi antara penguasa dan pengusaha. Dalam kondisi seperti ini, maka pengusaha akan mengendalikan  penguasa/kepala daerah demi kepentingan pengusaha. Proyek-proyek dikendalikan oleh pengusaha dan untuk pengusaha, rakyat hanya dijadikan tutup dan dalih keabsahan saja.
Untuk pilkada di daerah lain yang segera akan menyusul khususnya di wilayah Sumsel, marilah kita munculkan gerakan pilkada murah dan bersih agar calon pasangan yang terpilih menjadi  kepala daerah benar-benar yang mempunyai jiwa kepemimpinan  berorientasi kepada kepentingan rakyat khususnya rakyat yang terpinggirkan, berintegritas tinggi serta  tidak berperilaku korup. Mari kita cegah politik kartel yang merugikan rakyat dengan pilkada murah dan bersih dengan tanpa politik uang. Semoga.


                                                                                                Palembang, 11 Agustus 2011

Wednesday, July 27, 2011


 ANARKIS, RADIKALIS  dan ANAK MUDA
Oleh: Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

                Bom  bunuh diri  kembali mengguncang ibu pertiwi. Masjid Adz-Dzikro, kompleks Malporesta Cirebon, pada tanggal  15 April 20 11 menjadi tempat  untuk “berjihad”  Muhammad  Syarif Astanagarif (32 tahun). Hanya pelakunya,   bomber M Syarif,  yang langsung mampus dihajar bom yang dililitkan ditubuhnya.  Tampaknya  M  Syarif berkeinginan   mati “sahid” dengan  sejumlah polisi khususnya Kepala Polresta Cirebon.    
Kendatipun sasaran polisi tidak ada yang meninggal, tetapi serangan M Syarif  dan kelompoknya dapat dibilang sukses karena mampu menyerang polisi  simbol  penghalang gerakan-gerakan kelompok teroris dan dapat kembali menebar ketakutan di masyarakat.  M Syarif  sendiri  tentunya merasa sukses karena dapat  mati  “sahid” melalui “jihad” sesuai keyakinan dan perjuangannya. Gerakan teroris  yang semakin menggila di Indonesia menjadikan masyarakat merasa tidak aman di tempat-tempat umum sekalipun di tempat ibadah. Bahkan bom sudah masuk rumah melalui kiriman paket bom buku yang salah satunya meledak  di tangan polisi yang berusaha menjinakkannya.
Bom Cirebon  mengingatkan peristiwa bom-bom bunuh diri  dan pelaku pengeboman sebelumnya. Para bomber atau pelaku pengeboman  atau yang masuk kelompok penganut radikalisme dengan aksi-aksi teror dan kekerasan  pada umumnya dilakukan oleh generasi muda di bawah 40 tahun. Bahkan masih remaja  sudah sangat berani menjadi bomber bunuh diri  seperti yang dilakukan oleh   Dani Dwi Permana yang baru berumur 18 tahun ketika menjadi bomber di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton  tanggal 17 Juni 2009.   Teroris  pelaku bom Bali  I tahun 2002 seperti Imam Samudra waktu itu berumur 30 tahun,  Amrozi berumur 38 tahun, gembong teroris Noordin M Top waktu itu umur 34 tahun. Pelaku-pelaku lain seperti Misno berumur 30 tahun, bomber Bali II  tahun 2005 yakni Ayib Hidayat berumur 25 tahun. Pendek kata, para teroris yang umumnya penganut aliran atau berideologi radikal atau ekstrim  pada umumnya anak-anak muda.  
Selain anak muda menjadi teroris yang berideologi  radikal, pelaku-pelaku tindak anarkis lainnya, perkelaian umumnya terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa,  dan bentrok antar kelompok yang sering muncul dalam berita media massa televisi tampak sebagian besar pelakunya anak-anak muda. Bentrok antar supporter sepak bola umumnya anak-anak muda.  Memang anak-anak muda yang menjadi teroris atau bomber seperti M Syarif  dan Dani jumlahnya relatif sedikit dibandingkan populasi anak-anak muda  yang ada. Akan tetapi, jumlah yang sedikit  tersebut sangat berbahaya karena berhaluan keras dan militan. Mereka akan bertindak dengan  menggunakan segala cara dan berani melawan norma-norma yang ada demi untuk mencapai tujuannya.   Pemerintah dan aparat keamanan dibikin repot oleh ulah kelompok radikal ini. Masyarakat menjadi tidak tenang, kedamaian, persatuan dan kesatuan   terancam.
Melihat fakta bahwa umumnya para radikali-teroris dan pelaku anarkis lainnya dilakukan oleh kaum muda,  serentetan pertanyaan dapat dilontarkan. Mengapa di era demokrasi gerakan radikalisme tumbuh subur dan tindak anarkis kaum muda terjadi di mana-mana?.  Bagaimana peran pemerintah, pemimpin agama, pendidik dan  orang tua dalam memberikan pendidikan dan membekali generasi muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia yang berdasar Pancasila?.  Mampukah Pancasila  menjawab kegelisahan dan kekosongan keyakinan anak-anak muda untuk bekal hidup berbangsa dan bernegara yang pluralistik ini?.
Kegagalan Pemerintah
                Memasuki era demokrasi mulai  tahun 1998, bangsa ini seperti  bebas dari belenggu penjajah.  Masyarakat menghirupkan kebebasan yang tak terhingga. Rakyat bebas melakukan ekspresi diri dan kelompok melalui berbagai cara dan dalam berbagai bentuk. Euforia kebebasan benar-benar dinikmati dan dijalankan oleh semua rakyat. Akhirnya, di tataran masyarakat,  kebebasan menjadi sulit terkendali.  Pancasila dilupakan, ideologi lain bebas masuk dan dipelajari  oleh anak-anak muda tanpa kontrol penguasa. Masyarakat mudah sekali melakukan unjuk rasa yang sering diikuti tindak anarkis. Konflik berbau SARA terjadi di berbagai daerah seperti di Maluku, Poso, Pontianak, Papua, Aceh. Negara sepertinya tidak dianggap lagi. Rasa kebangsaan sepertinya sudah terhapus dari dada rakyat.
 Di tataran pemerintahan, semua produk dan kebijakan orde baru yang dinilai tidak  mempunyai semangat reformasi dan demokrasi dianggap tidak baik, kuno “jadul”, dan semua itu harus ditinggalkan dan diganti tatanan yang baru.   Pejabat alergi bicara Pancasila.  BP7 yang bertanggung jawab  atas pelaksanaan pendidikan politik dengan label Penataran P-4 dibubarkan. Masyarakat, anak-anak sekolah dan mahasiswa tidak mendapat pendidikan politik melalui Penataran P-4 di awal-awal masuk sekolah/kuliah. “Cuci otak” dengan ideologi Pancasila tak ada lagi.  Mereka dibiarkan hidup tanpa pegangan dan pedoman yang jelas dalam berbangsa dan bernegara. Di sisi lain,  ada aliran arus deras ideologi lain masuk memenuhi ruang-ruang kebebasan dan dapat mengisi kekosongan dan kehausan anak-anak muda tentang pegangan hidup baru  di luar Pancasila yang tersingkirkan.  Islam radikal, sosialisme kiri  dan  liberalisme menjadi santapan baru anak-anak muda yang semakin kritis. Sedangkan di sisi lain pemerintah tidak menyiapkan perangkat dan sistem atau   model pendidikan politik bagi masyarakat dan generasi muda untuk pengganti P-4.   Akibatnya, ideologi radikal tumbuh subur. Gagasan  dan kehendak lama  kelompok Islam radikal ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII)  tumbuh kembali karena pemerintah melakukan pembiaran dan permisif terhadap menjamurnya gerakan radikal yang berbasis ideologi yang berhaluan keras.     
Gerakan NII masih eksis dan secara diam-diam telah menjalar ke mana-mana dengan  wujud organisasi yang berbeda beda. Ada Jamah Islamiyah, Komando Jihad, dan lain-lain. Sasaran perekrutan anggota kelompok radikal ini adalah  kaum muda yang mental ideologinya kosong atau lemah tentang Pancasila dan NKRI.  Metode perekrutan melalui rayuan dan diskusi yang secara tidak sadar  ditanamkan rasa  kebencian terhadap NKRI dan Pancasila serta memutarbalikkan fakta dan ajaran agama. Kasus terbaru, hilangnya 9 mahasiswa di Malang  akhirnya terkuak  karena diculik oleh kelompok orang  yang diduga dari kelompok dan  jaringan NII. Para mahasiswa  tersebut dicuci otaknya dari kotoran ajaran agama dan kenegaraan yang menurut penculik tidak benar kemudian otak para mahasiswa tersebut diisi dengan ajaran-ajaran yang membenarkan NII dan menanamkan kebencian dan permuisuhan terhadap keluarga , orang tua,  NKRI dan Pancasila.
Anak muda remaja merupakan sosok yang belum mempunyai jati diri dan identitas diri yang jelas. Mereka kelompok yang sedang berburu identitas  melalui berbagai pembelajaran dan peniruan. Semangat belajar dan rasa ingin tahu sangat tinggi. Segala sesuatu yang baru ingin dicobanya. Emosinya masih sangat labil. Gambang  sekali mengikuti arus yang berkembang di kelompoknya.  Kondisi seperti ini mudah sekali dimasuki ajaran-ajaran yang menyesatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawa. Itulah sebabnya, para teroris dan kaum radikal mencari dan berburu anak-anak muda yang penghayatan agamanya masih lemah dan mental ideologi berbangsa dan bernegara belum mantap.
Kondisi anak muda yang mudah jatuh dalam gerakan radikalisme dan akrkisme dikarenakan pemerintah melakukan pembiaran akan pendidikan politik. Pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan yang dapat menyelamatkan anak-anak muda dari pengaruh radikalisme yang melanda Indonesia pada awal-awal kebangkitan demokrasi. Kekosongan ideologi akibat sikap menghindari Pancasila dan meniadakan P-4 sama saja memberikan kesempatan luas masuknya dan tumbuhnya ideologi lain. Pemerintah sibuk dengan dirinya sendiri sehingga lupa menyelematkan anak-anak bangsa dari pengaruh dan ajaran ideologi radikal. 
 Karena tiadanya kebijakan dalam pendidikan politik yang jelas, maka para pemimpin umat beragama pun tidak ada mempunyai pedoman yang dijadikan tuntunan dalam berdakwa yang sejuk, damai, dan mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam  kebhinekaan bangsa. Selain itu, penegakan hukum oleh pemerintah juga lemah terhadap pelaku anarkis dan radikalis. Partai politik  pun setali tiga uang, sama saja, sibuk dengan kepentinganya sendiri, hanya ramai berebut dan bagi-bagi kekuasaan.   Parpol belum dapat melaksanakan pendidikan politik untuk rakyat khususnya kaum muda yang mestinya menjadi tugas dan kewajibannya dalam menjalankan salah satu fungsi politiknya. Ormas kepemudaaan dan organisasi kemahasiswaan kurang ada kontrol dan pembinaan dalam melaksanakan aktivitasnya seolah-olah mereka sudah manusia yang matang, padahal mereka anak-anak muda yang sedang dalam proses belajar yang perlu pengawasan dan pengarahan.   Tampaknya demokrasi telah disalahgunakan dan dimanfaatkan oleh kaum radikalis untuk menebarkan ideologinya di kalangan kaum muda.
Jalan Keluar
                Agar kondisi ini tidak semakin berlarut-larut dan gerakan radikalisme dan anarkisme tidak semakin tumbuh subur di kalangan kaum muda, maka pemerintah secepatnya harus mengambil sikap dan kebijakan. Pertama, perlu dipikirkan adanya lembaga semacam BP7 yang secara khusus mengelola pelaksanaan civic education atau pendidikan politik bagi rakyat dengan penekanan kurikulum pada pembentukan watak sebagai orang Indonesia yang mengakui dan menghormati kehidupan yang multikultural atau kebhinekaan.
Kedua, perlu dibentuk lembaga khusus atau memberikan wewenang dan fasilitas  kepada ormas agama untuk mendidik,  membina dan mengawasi kaum muda yang tersesat atau korban dari ajaran ideologi radikal. Hal ini untuk memutus mata rantai ajaran yang mungkin akan muncul kembali bila tidak dilakukan pembinaan dan pengawasa.
Ketiga, pemerintah harus menfasilitasi para pemimpin agama untuk secara teratur dan berkesinambungan melakukan up dating wawasan tentang Pancasila dan negara kebangsaan NKRI serta kebijakan-kebijakan aktual yang berkaitan dengan upaya  terus menerus mewujudkan kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa.  Dengan tambahan bekal wawasan yang selalu baru diharapkan para pemimpin agama / ulama dapat menyampaikan dakwah  kepada umatnya hal-hal yang sejuk.
Keempat, kembali dihidupkan pembekalan (seperti P-4) tentang Pancasila sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI kepada anak didik pada awal masuk jenjang sekolah dan kuliah.  Kegiatan orientasi sekolah harus ada materi pembekalan ideologi Pancasila dan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Untuk di perguruan tinggi, perlu dipikirkan ulang agar Ideologi  Pancasila  menjadi mata kuliah wajib yang berdiri sendiri dengan  beban sks minimal 3 (tiga), bukan seperti sekarang ini hanya bagian dari mata kuliah kewarganegaraan yang hanya 2 sks.  Mempelajari ideologi Pancasila tidak sekedar hafal sila-sila Pancasila dan tahu maknaya, tetapi lebih dari itu yakni faham dan menghayati kandungan filosisnya yang berakar dari warisan budaya bangsa.     Diharapkan dengan memberikan pendidikan Ideologi Pancasila yang memadai dan mendasar  akan mampu membentengi  anak-anak muda  dari ideologi radikal.
Kelima, orang tua harus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam berkomunikasi dengan anak sehingga kalau ada hal-hal yang dirasa aneh atau di luar kebiasaan dalam bersikap dan berfikir dari diri si anak, maka orang tua dapat cepat mengerti untuk kemudian segera dapat diambil tindakan. Anak-anak muda yang tersesat  dalam bertindak pada umumnya dialami dalam keluarga yang komunikasinya antara anak dan orang tua kurang harmonis.  Kemajuan teknologi informasi juga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas komunikasi dalam  keluarga. Orang tua dan anak mungkin dekat secara fisik, tetapi  masing-masing sibuk dengan HP-nya  menjalain komunikasi dengan jaringan  dan kelompoknya sendiri-sendiri.
Dan keenam, masyarakat hendaknya waspada dan kritis terhadap  kelompok-kelompok pengikut agama yang eksklusif, tertutup dan terkesan menjauhi kehidupan sosial yang normal. Tindakan yang aneh dari lingkungan sekitar atau menyendiri biasanya ada sesuatu yang dirahasiakan. Selain itu, masyarakat juga harus kritis dan waspada terhadap isi ceramah agama yang disampaikan oleh uztads atau pemimpin agama lainnya yang sering atau bahkan terus menerus menanamkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah, negara atau agama lain. Isi ceramah dan pengajian yang bernada provokatif  merupakan awal atau bibit cikal bakal tumbuhnya  sikap dan pemikiran radikalisme dalam masyarakat.
Marilah udara demokrasi patut disyukuri sebagai berkah untuk mengembangkan potensi diri dan kelompok demi untuk kesejahteraan, kedamaian, persatuan dan kesatuan di atas kebhinekaan bangsa dalam bingkai Negara Kebangsaan NKRI yang berdasar Pancasila.

                                                                                                                                Palembang, 21 April 2011